Wednesday, December 16, 2015

Yogyakarta

Butiran pasir basah telah mengering
sisa hujan semalam
Aroma Sekaten menyergap
menyela lalu lalang yang melintas-lintas
memenuhi udara lembab bulan Desember

Engkau tak pernah menua 
hanya memupuk bijak bestari
Engkau tak penah berubah
hanya menyeka keringat tengah hari

Derap-derap sepatu kanvas
Gores-gores cat di ujung kuas
Denting-denting dawai gitar
Bait-bait ceritera, pula puisi
Patung-patung di tepi jalan
Ukiran kayu di sudut genteng
Bangsal-bangsal Joglo nan bersahaja

Jogja,
aku mencintaimu seperti hangat musim semi
aku mengenangmu seperti angin selatan nan mendayu-dayu
Tetaplah seperti itu,
seperti pertama kali aku mengenalmu, dahulu

Stasiun Tugu Yogyakarta, 13 Desember 2015


Thursday, November 26, 2015

Menjumpai yang Tak Tergantikan

Sahabat, meminjam kata-kata dari seniman Ugo Untoro, yang pernah dituliskan oleh salah seorang sahabat saya, Tiaswening Maharsi, dalam bukunya "Dunia Simon":

"Tidak hanya berbunga-bunga, hatiku berbuah-buah."

Begitu pun yang saya rasakan ketika buku pertama saya "Harum Hujan Bulan November" ini diterbitkan. Buku ini adalah hadiah kecil saya untuk tiga orang yang paling saya cintai: Mamak, Mamo, dan Abang. Sahabat-sahabat pun dapat membaca kisah mereka yang saya tuliskan dalam buku ini.

Berikut, beberapa bait resensi yang dituliskan sahabat saya yang lain, FX. Widyatmoko (Koskow):

Kumpulan kisah yang disusun secara alur waktu ini - yaitu sejak 3 November 2011 hingga 26 Juni 2014 - berkisah tentang sesuatu yang tak tergantikan. Yang tak tergantikan ini tak lain kisah-kisah yang dialami Hesty: tentang kedua orangtuanya, kakaknya, ibu petugas di kantor pos, guru, teman-teman sekolah, kuliah, dan mereka yang dijumpainya tanpa direncana. Beberapa kisah yang ditulis juga dialamatkan kepada alam, pula syukur kepada Tuhan. Kisah-kisah tersebut ditulis Hesty dari berbagai tempat: Bandung, Zug, Zürich, Nijmegen, Groningen, Utrecht, dan yang paling sering Bochum, Jerman, tempat Hesty melanjutkan studi. Kisah-kisah juga berasal dari orangtuanya, yang mana kisah tersebut membuat Hesty pergi menjumpai yang dikisahkan tersebut (tentang saudara jauh).

Tulisan-tulisan Hesty, meski terkesan sebagai sebuah catatan perjalanan, namun lebih dekat kepada surat. Jika catatan perjalanan lebih mendekati pada laporan, sebaliknya tulisan Hesty dalam buku berjudul "Harum Hujan Bulan November" ini lebih memilih untuk tak sebatas pelaporan, namun memberi alasan untuk apa ia dilaporkan. Di antara kisah-kisah tersebut hadir beberapa puisi, hadir pula foto. Setidaknya terdapat perbedaan antara kisah-kisah yang dituliskan (dalam bentuk esai), puisi, dan foto dalam buku tersebut.

Pada kisah-kisah yang dituliskan dalam bentuk esai, Hesty kerap bertutur tentang orang-orang yang dijumpainya. Pada puisi dan foto, tersampaikan yang sebaliknya, Hesty mengajukan pertanyaan-pertanyaan, terkesan lebih tentang dirinya, mungkin tentang sendirinya (pula foto seekor bebek yang di bagian bawah foto tersebut disertakan pertanyaan "kayuhmu hendak ke mana?"). Mungkin ada alasan tertentu mengapa hal tersebut terkesan demikian. Namun, yang lebih utama yaitu pada kejujuran serta keterbukaan dalam menuliskan kisah-kisah dan bagaimana memberi bingkai untuknya.

Kisah-kisah Hesty pun dapat dipahami sebagai satu kesadaran mengenal yang lain, yang berbeda. Pada kesadaran inilah kisah-kisah yang dituliskan Hesty dapat dipandang menjadi perjuangan kita bersama yaitu saling menghargai sesama, alam, masa lalu, benda-benda, serta harapan hidup ke depan, terutama di zaman yang kian bergegas dan menyisa sepotong-potong cerita yang berlalu lalang, yang membuat kita gagal utuh menangkapnya karena diri kita (di)sibuk(kan) oleh aktivitas mengganti-ganti citra.

Orang-orang dalam kisah-kisah yang dituliskan Hesty pun menjadi seseorang. Bingkai seseorang dan yang tak tergantikan inilah yang bagi saya terasa mengesankan. Dituliskan oleh Hesty, bahwa: "...Kata orang, bepergianlah, maka engkau akan mengenal sahabat seperjalananmu, karena banyak hal yang akan teruji di sana..." (Bochum-Nijmegen dan Mimpi-Mimpi Masa Silam). Kisah-kisah yang dituliskan Hesty, baik melalui bentuk esai, puisi, dan foto, tak lain adalah usaha mengingat dan memberi harapan pada orang-orang, pada waktu, pada ruang, yang dari situ menempatkan kita pun menjadi seseorang bagi yang lain, bagi yang tidak tergantikan itu.

Teruntuk para sahabat yang telah membantu saya hingga buku ini lahir, saya haturkan terima kasih sebesar-besarnya dari hati yang paling dalam. Semoga karya kecil ini menemui perannya, memberikan sepercik manfaat bagi orang-orang di sekelilingnya.

Bandung, 8 Oktober 2015



Thursday, October 22, 2015

Sehelai Daun Jati

Pada sehelai daun jati
Tersangkut debu yang digerus sepi
Bersama sehelai daun jati
Luruh perlahan jingga mentari

Pada sehelai daun jati
kukirimkan rindu pada maple
yang gugur dicumbu angin
Bersama sehelai daun jati
Cikapundung mengalir deras
menyapu lembah-lembah Ruhr

Di tepi tanah lapang
sehelai daun jati mencuri dengar
parau suara meneriakkan janji
"Demi Tuhan, Bangsa, dan Almamater"
Toga-toga wangi, basah tersiram euforia
pada sore nan gemuruh

Patung Ganesha masih tertegun
ditemani juntai-juntai bunga September,
helai-helai daun jati,
dan kemarau yang enggan pergi.

Ganesha 10, 17 Oktober 2015










Tuesday, September 29, 2015

Bochum, Sungguh Aku Mencintaimu

Aku masih ingat, sore itu, langit kelabumu menyambutku malu-malu. Aku meringis menahan desir dingin angin musim gugur yang menerbangkan helai-helai daun maple merah jingga. Berminggu-minggu mendung seperti terperangkap tak hendak beranjak. Hanya sesekali kulihat matahari mengintip di celah-celah ranting pepohonan yang mulai meranggas.

Lalu sampailah pada suatu masa, ketika remah-remah salju berderai-derai diterbangkan angin. Alam pun diam berselimut beku, dan hatiku tiba-tiba didera rindu, rindu pada hangat matahari yang membelai lembut kulitku.

Engkau tak membiarkan rinduku menjadi biru. Perlahan-lahan matahari musim semi menyelinap di sela-sela pucuk daun hijau muda. Lalu, engkau hadiahkan padaku helai-helai kelopak magnolia merah muda, juga kuntum-kuntum bunga raps kuning merona.
  

Hujanmu tak pernah lama, aku pun jarang mendengar gemuruh petir menyambar-nyambar. Namun pernah kulihat anginmu memberontak menjelma badai, menumbangkan pepohonan yang melintang di jalan-jalan dan rel kereta.

Lalu, datanglah hari-hari nan panjang. Sampai bosan aku menanti senja yang seperti tak kunjung tiba, panas dan gerah terperangkap lamat-lamat di celah-celah jendela. Sesekali kulihat sekawanan kuda dan domba-domba merumput di padang-padang hijau tepi telaga. Ladang-ladang terhampar sejauh mata memandang hingga ke ujung cakrawala.

Kemudian pelan-pelan, matahari seperti terenggut dari haluannya. Dedaunan hijau tua perlahan-lahan menguning, menjingga, lalu tangkai jemarinya mencoba berpegang erat pada ujung-ujung rantingnya, namun tak lagi kuasa. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, musim pun datang dan pergi, silih berganti.

Bochum, engkau telah memenuhi hatiku hingga meluap-luap, mengajarkanku kebijaksanaan dalam setiap helai pergantian musimmu. Pada detik ini aku sadar, bahwa aku telah jatuh cinta, pada setiap jengkal tanahmu, pada setiap desir anginmu, pada setiap tetes hujan dan derai saljumu, pada setiap lirih bahasa cintamu.

Bochum, terima kasih telah mengizinkanku menghirup desir nafasmu. Terima kasih untuk semua cinta dan kenangan indah yang akan terukir selamanya dalam sanubariku, hingga akhir hayatku. Suatu hari nanti jika kau izinkan lagi kita bertemu, tentu 'kan kubawakan engkau segenggam rindu.

Bochum, 7 November 2011 - 1 Agustus 2015

Wednesday, June 10, 2015

Merantau dan Lihatlah Dunia di Luar Sana

Apa yang ada di benak Anda saat mendengar kata "merantau"? Bagi saya pribadi, merantau tak hanya sekedar meninggalkan kampung halaman berbekal nekat, namun pola pikir yang matang harus dibangun jauh-jauh hari, jauh sebelum langkah kaki meninggalkan segala kenyamanan di tanah kelahiran. Segala kemungkinan tak terduga, baik kemungkinan positif maupun negatif akan kita temui di negeri orang. Yang pertama harus dipersiapkan adalah tujuan apa yang ingin kita capai di perantauan nanti. Tak ada salahnya bermimpi, bahkan mimpilah yang masih menjadi bara semangat yang tetap menyala, yang menguatkan saya menjalani hari-hari. Jangan lupa persiapkan mental sekeras baja dan kunci terakhir adalah tawakal.

Motivasi terbesar saya ketika merantau meninggalkan kampung halaman adalah keinginan untuk mengisi masa muda dengan ilmu-ilmu baru, duduk bersama orang-orang yang belum saya kenal sebelumnya, mendengarkan kuliah dari guru-guru terbaik, membaca buku-buku dari perpustakaan-perpustakaan terbaik, serta mengenal orang-orang dari berbagai ras dan kebudayaan yang berbeda-beda. Singkatnya, saya ingin melihat dunia, melebihi sekat-sekat bahasa, usia, ruang dan waktu.

Dalam era globalisasi sekarang ini, dunia seakan tanpa sekat. Orang-orang dengan mudahnya bisa bepergian ke sana ke mari dalam waktu yang relatif singkat. Arus deras informasi menghantam dari segala penjuru. Apa jadinya jika kita tak mempersiapkan bekal dalam diri kita? Tentunya kita akan terombang-ambing seperti tanpa pendirian, menjadi gagap budaya, gagap kepribadian serta gagap-gagap lainnya yang akan susul-menyusul menghantui hidup kita. Bekal pertama bagi seorang anak adalah pendidikan keluarga, satuan komunitas terkecil, tempat segala mimpi bermula. Kepribadian yang kuat, nilai-nilai moral dan agama yang baik, akan menjadi mata uang berharga yang akan berlaku sepanjang usia.

Salah satu benang merah yang mewarnai motivasi orang untuk merantau adalah kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Pendidikan tak pernah mengenal usia, berapa pun usia Anda, jangan pernah berhenti belajar. Bagi generasi muda, kesempatan emas ini jangan disia-siakan. Sebelum kesehatan terenggut dari tubuh kita, sebelum waktu terampas oleh kesibukan-kesibukan lainnya, isilah masa muda untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Generasi muda khususnya, mempunyai kesempatan luas untuk menuntut ilmu di negeri orang. Kesempatan terbuka lebar di depan mata, kembali ke diri sendiri, mau atau tidak kita memanfaatkan kesempatan-kesempatan tersebut. Saya sering menemui anak-anak muda dengan potensi luar biasa, tapi ketidakpercayaan diri mengungkung keberanian mereka untuk melangkah. Rasa rendah diri karena berasal dari daerah atau keluarga yang kurang mampu, rasa minder karena dibesarkan di kampung, dan beban-beban negatif lainnya telah menghalangi sekian banyak bibit-bibit unggul di masa depan untuk menularkan energi-energi positif bagi lingkungan di sekelilingnya.

Sebelum melangkah meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan pendidikan, terutama selepas SMA, kita harus mengetahui lebih dahulu, potensi dan bakat terbesar apa yang ada dalam diri kita masing-masing. Jika sudah yakin, carilah sekolah dan lingkungan terbaik untuk mengembangkan bakat dan potensi tersebut. Tancapkan cita-cita untuk bergabung di lingkungan pendidikan terbaik. Tercapai atau tidak nantinya, itu urusan belakangan. Namun, motivasi awal ini akan menjadi bekal kita untuk mempersiapkan usaha terbaik demi mewujudkannnya.

Saya memperhatikan dengan seksama sistem pendidikan di Jerman, di mana sedari kecil anak-anak Jerman sudah diajak untuk mengenal potensinya masing-masing. Pendidikan dasar diwarnai sebagian besar oleh proses bermain, anak-anak tak terlalu disibukkan dengan beragam PR yang menyita waktu bermain mereka. Melalui proses bermain yang menyenangkan ini, mereka diarahkan untuk mengenal hobi dan bakat masing-masing. Dalam tahap pendidikan selanjutnya, sejak kira-kira tingkat setara SMP, mereka sudah harus memilih sekolah jenis apa yang menentukan nasib mereka nantinya sampai tahap perguruan tinggi. Sistem ini meminimalisasi gagap dan kebingungan-kebingungan yang umumnya dialami anak-anak selepas SMA ketika akan memilih program studi di perguruan tinggi.

Saya tak ingin menyalahkan sistem pendidikan yang berlaku sekarang di Indonesia, di mana sekolah-sekolah pada umumnya belum bisa memfasilitasi terlalu jauh untuk mengenali dan mengembangkan bakat dan potensi diri ini. Lingkungan dan budaya kita tak jarang masih mempunyai pola pikir, bahwa anak pintar itu adalah anak yang meraih nilai-nilai terbaik bidang eksakta, atau "straight A" dalam semua mata pelajaran. Padahal, kecerdasan itu tak hanya kecerdasan matematika dan sains, banyak kecerdasan lain yang tak kalah berharga, seperti kecerdasan dalam bidang seni, olahraga, dan lain-lain. Manusia dikaruniai bakat-bakat yang berbeda-beda untuk menjadi yang terbaik sesuai potensinya masing-masing jika dimaksimalkan. Dengan sistem dan budaya sekeliling yang belum terlalu mengakomodasi tujuan ini, tugas kitalah untuk memaksimalkan pencarian diri masing-masing. Maksimalkan potensi yang ada sejak belia, warnai dengan kepercayaan diri dan bercita-citalah setinggi-tingginya.

Selain ketidakpercayaan diri, hal lain yang sering menghinggapi generasi muda yang baru merantau ke luar daerah adalah sifat "ikut-ikutan" atau dalam bahasa Belitung dikenal istilah "seuru'-uru'an". "Seuru'an-uru'an" ini adalah sifat yang sangat berbahaya, apalagi seringkali menyerang pada fase-fase kritis yang sangat menentukan. Anak-anak muda yang dihinggapi sifat ini hatinya dipenuhi oleh euforia karena baru saja mencapai tahap paling keren dalam hidupnya: lulus SMA dan diizinkan oleh orang tua untuk pertama kalinya merantau meninggalkan tanah kelahiran. Akibatnya, mereka lupa tujuan awal untuk apa mereka merantau. Padahal kompetisi yang luar biasa sudah menunggu di depan mata. Untuk mendapatkan sekolah dan lingkungan pendidikan terbaik, tentunya kita harus bersaing dengan ribuan siswa dari seluruh tanah air. Persaingan sengit sesungguhnya dimulai pada tahap ini, bukan hanya sebelum menghadapi UN.

Kepercayaan diri, motivasi dan tujuan yang kuat serta moral dan kepribadian yang tangguh adalah bekal terbaik yang harus kita persiapkan untuk meraih cita-cita. Apapun yang akan kita hadapi di luar sana, kita tak akan kehilangan pijakan paling dasar: motivasi untuk bermanfaat bagi orang banyak dalam bidang apapun yang akan kita geluti nantinya. Merantau akan melatih mental kita sekeras baja, karena berupa-rupa pengalaman yang akan kita temui tak akan selalu manis. Keberhasilan dan kegagalan hanyalah bagian yang sangat relatif, proses yang kita jalani adalah pelajaran sesungguhnya yang tak akan pernah kita peroleh jika kita hanya berdiam diri di zona nyaman dan tanah kelahiran sendiri. Merantau pada akhirnya akan mengantarkan kita pada perjalanan-perjalanan tak terduga, bukan hanya untuk mengenal dunia, tapi lebih dari itu, dalam perjalanan panjang tersebut kita akan diajak untuk mengenal siapa diri kita sesungguhnya. Betapa kerdilnya kita di hadapan Sang Pencipta dan alam raya yang tak akan ada habis-habisnya untuk kita jelajahi sampai akhir usia.




Mengutip sebuah syair yang sangat terkenal dari Imam Syafi'i, cukuplah rindu pada tanah kelahiran yang menguatkan para perantau menjelajahi setiap jengkal tanah-tanah impian.

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkanlah negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak 'kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak 'kan dapat mangsa
Anak panah jika tak tinggalkan busur tak 'kan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam
tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa sebelum ditambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan

Merantaulah
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkanlah negerimu dan menjadi asinglah di negeri orang

Bochum, tepian Sungai Ruhr, 9 Juni 2015

Sunday, May 17, 2015

Adikku Sayang

Terlahir sebagai bungsu, aku tak pernah merasakan menjadi seorang kakak. Namun, dari sekian sepupu yang aku miliki, aku paling dekat dengan Cici, adik kecilku yang kini sudah beranjak dewasa. Tujuh setengah tahun jarak usia kami. Aku masih ingat ketika dulu, pagi-pagi sekali, Mamak mengajakku menjenguk Acik di klinik bersalin dekat rumah kami. Acik adalah panggilanku untuk Ibunda Cici, adik ibuku. Pagi itu, aku merasa seperti baru saja dibelikan mainan baru atau seperti baru bisa naik sepeda, bahagianya sederhana, namun tak terkira. Sejak kecil aku memang sangat dekat dengan Acik, beliaulah yang membantu Mamak untuk mengasuhku sejak kanak-kanak. Pagi itu, Acik telah menjadi seorang ibu, dari seorang bayi perempuan mungil, adik sepupuku.

Waktu memang tak pernah iba, dia melesat meninggalkan kita, yang kadang masih termangu dalam lorong-lorongnya. Dulu ketika Cici masih kecil, setiap pulang sekolah, aku selalu minta diantar Mamak ke rumah Acik. Liburan sekolah pun biasanya kuhabiskan di rumah Acik untuk bermain bersama Cici.

Sore ini, aku termangu melihat teks-teks yang dikirimkan Cici ke emailku. Ada perasaan haru sekaligus bangga. Cici minta dikoreksikan abstrak Tugas Akhirnya, artinya sebentar lagi dia akan diwisuda. Adik kecilku kini telah menjadi gadis pintar yang sedang meneliti pengembangan reaktor nuklir. Sejak SD prestasinya memang sangat cemerlang. 2011 lalu, tepat sebelum aku merantau ke Jerman, Cici memperoleh beasiswa penuh dari BATAN untuk menempuh program sarjana di Fisika ITB, bidang kekhususan nuklir.

Adikku sebentar lagi akan menjadi sarjana. Mimpi-mimpiku akan selalu kubagi bersamanya. Jangan berhenti sampai di situ saja, merantaulah lebih jauh dan lihatlah dunia. Suatu hari nanti, kita ceritakan kepada nenek dan kakek tentang negeri-negeri jauh dan mimpi-mimpi masa kecil kita, meskipun hanya di hadapan pusara mereka.

Bochum, 17 Mei 2015

Thursday, April 23, 2015

Tentang Bandung, Kampung Halaman Keduaku

Bandung, sebuah kota yang namanya terngiang-ngiang dalam benakku, bahkan jauh sebelum aku menginjakkan kaki di sana. Kalau tak salah ingat, aku mendengar nama Bandung pertama kali dari ayahku. Beliau bercerita tentang sebuah sekolah, sebuah institut, tempat orang-orang belajar sains, seni dan teknologi. Waktu itu mulut kecilku spontan berseloroh, "Baiklah, nanti kalau sudah besar, aku mau sekolah ke Bandung saja, ambil jurusan mesin, biar bisa membuat mesin-mesin canggih!" "Dipakai untuk apa?", tanya ayahku. Aku menggeleng, "Belum tahu, nanti kita lihat saja!"

Sejak saat itu, kalau ditanya mau ke mana kalau sudah besar, aku selalu menjawab, "Aku ingin ke Bandung!" Belasan tahun kemudian, aku pun diantar ayah ke kota kembang ini, mengadu nasib, merantau meninggalkan kampung halaman. Tujuh tahun kuhabiskan masa mudaku di kota ini. Satu-satunya hal yang masih kusesali hingga saat ini adalah kemampuan Basa Sundaku yang tak maju-maju. Hanya dapat logatnya saja, yang bahkan menjadi aksen Bahasa Indonesiaku sampai saat ini. Aku mesti bertemu orang sekampung dulu untuk mengembalikan aksen Melayuku, lebih dari itu, orang yang baru mengenalku akan mengira bahwa aku berasal dari tatar Sunda.

Bandung menjadi kampung halaman ke dua bagiku, setelah Belitung. Bangka luput dari perhatianku, karena masa SMA yang kuhabiskan di sana masih kalah berkesan dibandingkan masa-masa yang kuhabiskan di Kota Paris van Java ini. Ketika aku meninggalkan Indonesia, tak jarang secara tak sadar, aku mengaku sebagai orang Bandung. Spontan saja, alam bawah sadarku yang menginginkannya. Meskipun jika mengobrol lebih jauh, aku tentu saja akan bercerita tentang kampung halamanku, Belitung, tanah Melayu yang melahirkanku.
 
Lama meninggalkan kampung halaman, membuatku merasa cepat betah berada di tempat yang baru. Lalu, setelah beberapa lama, aku pun akan merasa bahwa perantauan adalah juga kampung halamanku. Bochum pun akan bernasib serupa dalam benakku. Dia telah menggerogoti relung-relung terdalam dalam hatiku. Aku belum pergi meninggalkannya, namun pelan-pelan aku mulai didera rindu.

Besok pagi, Bandung akan menyambut tamu-tamu kehormatan dari berbagai negara, khususnya dari kawasan Asia dan Afrika. Wajah Bandung sudah banyak berubah, semakin cantik dan sering membuatku menitikkan air mata, bangga dan haru. Bandung, izinkan aku sekali lagi mendekap sejuk udara pagimu, ketika halimun perlahan-lahan menyeruak dari punggung-punggung gemunung di sekelilingmu. Izinkan aku berlari lagi bersama derumu. Sabarlah, kelak kita akan bertemu, tak lupa kubawakan engkau segenggam rindu.

Bochum, 23 April 2015

Thursday, April 16, 2015

Cerita "Mati Lampu" di Kampus Kami

Sore kemarin, sekitar pukul 2, aku baru saja menyelesaikan pekerjaan di kantor. Sisa waktu istirahat kupakai saja untuk berselancar di dunia maya. Tiba-tiba, "crek" aliran listrik terputus. Rekan-rekan kerjaku segera keluar ruangan, memastikan bahwa ruangan lain mengalami hal serupa. Lampu di beberapa lorong masih tampak menyala, karena listriknya berasal dari sumber cadangan.

Wajah mereka tampak gelisah, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mungkin terdengar aneh dan berlebihan bagi kita orang Indonesia. "Pasti ada yang tidak beres!", pikir mereka. Sejak aku tinggal di Jerman 4 tahun belakangan ini, ini kali pertama terjadi pemutusan aliran listrik secara mendadak, tanpa pemberitahuan sama sekali. Biasanya kalau pun ada pemutusan untuk tujuan perawatan jaringan, pemberitahuannya sudah dari jauh-jauh hari, bahkan 3 bulan sebelumnya, dan itu pun tak pernah total diputuskan semua, agar kegiatan akademik dapat berlangsung sebagaimana biasa.

Kami pun dipulangkan lebih awal. Sesampai di asrama aku menyalakan laptop dan mencoba mencari tahu lewat internet. Ah, aku baru sadar, internet di asrama terhubung dengan jaringan yang sama dari kampus. Jadi, percuma saja. Lalu, aku mencoba mengecek melalui telepon selularku yang sudah kehabisan kuota internet, lambatnya bukan main. Akun Facebook RUB ternyata tak henti-hentinya memberikan informasi tentang kejadian "luar biasa" ini.

Dari beberapa informasi yang kuperoleh, sejak sore petugas terkait bahu-membahu sigap bekerja, layaknya tim siaga bencana, memastikan tak ada orang yang celaka oleh karena kejadian ini. Para petugas dari "stadwerke" segera memeriksa penyebab putusnya aliran listrik yang melumpuhkan seluruh area kampus.

Perbaruan informasi terus menerus disampaikan oleh para petugas. Sampai pukul 2 pagi, masih kulihat beberapa berita bersliweran. Para petugas menemukan bagian yang bermasalah pada salah satu sambungan yang terletak tak jauh dari pabrik Opel. Katanya ini kejadian stromausfall terbesar sejak 25 tahun terakhir ini. Beberapa petugas yang diwawancarai menyampaikan bahwa mereka tak akan pulang, sampai semuanya selesai diperbaiki.

Pukul 4 pagi, kuterima email dari sekretariat kampus. Mereka memberitahukan proses perbaikan yang sedang berjalan dan beberapa hal terkait kegiatan di kampus yang terkena dampak langsung. Pukul 8 pagi, kuterima email lain dari Supervisorku, berisi himbauan untuk tetap berada di rumah selama masa perbaikan, terkait alasan keselamatan kerja dan sebagainya.

Itulah, sekelumit kisah "mati lampu", yang sedikit menghebohkan warga kampus kami. Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari kejadian ini, tentang dedikasi para petugas, tentang kesigapan dan tanggap bencana, serta tentang arti penting teknologi yang telah mendarah daging dalam jiwa mereka. Lalu, di tanah air bagaimana? Mari kita berbenah, Kawan.

Bochum, 16 April 2015