Wednesday, April 02, 2008

Laskar Pelangi, sebuah karya...

Sudah ribuan orang terinspirasi dengan kisah anak Melayu ini. Mungkin kata sebagian orang agak basi mengulas kisah ini berulang kali. Namun tidak bagiku. Karya putra Belitong ini telah menjadi best seller, bahkan sampai ke Malaysia.

Demikian banyak hal menakjubkan yang diangkat dalam buku Andrea Hirata ini. Mungkin satu kata saja tidak akan cukup menggambarkan rasa salutku pada Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor. Sejak lama aku bermimpi ada orang yang dengan penuh percaya diri mengangkat ranah budaya kampung halaman kami. Dengan kemunculan tetralogi ini mimpi itu pun terwujud. Sebuah memoar hidup yang disajikan dengan pendekatan sastra telah hadir di tengah-tengah kita.

Dalam Laskar Pelangi, Ikal (sapaan akrab pengarang ini) memotret dengan apik kehidupan kaum marginal yang justru lahir di tanah yang kaya raya. Kemarginalan ini tidak untuk ditangisi atau dikasihani. Tetapi, di sinilah Ikal dengan gagah berani menoreh mimpi-mimpi anak-anak kampung itu. Lintang, demikian salah seorang inspirator bagi anak-anak miskin anggota Laskar Pelangi. Bagi mereka, Lintang bagaikan purnama yang membuat mereka berani bercita-cita. Anak miskin putra nelayan semenanjung ini demikian cerdas tapi demikian rendah hati. Ada lagi Bu Mus dan Pak Harfan, guru yang rela mengajar bahkan tanpa dibayar, yang tak jemu membakar semangat mereka. Dalam segala keterbatasan inilah para tokoh dalam buku ini dengan bangga memaknai setiap episode kehidupan mereka, berjuang dan berusaha melakukan yang terbaik dalam hidup mereka.

Perjuangan hidup Ikal pun berlanjut dalam Sang Pemimpi. Demikian kuat semangat Ikal, Arai dan Jimbron untuk bersekolah. Mereka rela bangun sejak dini hari untuk bekerja menjadi kuli ngambat demi membiayai hidup dan sekolah mereka kala itu. Hanya mimpi-mimpi dan semangat yang menjadi modal mereka, yang lain mereka tak punya. Diiringi segenap usaha dan do'a akhirnya Allah mengabulkan cita-cita mereka. Ikal dan Arai mampu meraih pendidikan tinggi bahkan sampai ke Perancis tanpa sepeser pun uang dari orang tua.

Sedangkan Edensor menggambarkan petualangan Ikal dan Arai selama bersekolah di Perancis. Seperti impian sepi guru sastra mereka waktu SMA dulu, mereka berhasil menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Dalam penjelajahan ini, Ikal dan Arai menemukan mozaik-mozaik hidup mereka. Pena-pena Ikal berhasil menyajikan dengan apik sekelumit budaya masyarakat Eropa dan sebagian Afrika. Yang menarik, budaya ini diangkat dari sudut pandang orang Indonesia, yang notabene orang kampung sama sepertiku. Tapi bukan berarti cerita ini menjadi kampungan dan norak. Sama sekali tidak.

Satu lagi Maryamah Karpov, buku terakhir dari rangkaian Tetralogi ini. Rencananya akan terbit dalam tahun ini.

Tak terbayangkan bangganya aku menjadi orang Belitong. Pulau kecilku ini ternyata menyimpan orang-orang luar biasa. Terimakasih Andrea Hirata yang telah menjadi inspirasi. Yang telah dengan bangga dan gagah berani mempersembahkan sebuah karya bermutu.

Bandung, 20 Februari 2008

Harapan yang Tertelan Pasang

Mendung menggelayut tebal menyelimuti langit. Muram, dingin dan basah. Hari ini 16 Mei 2004, kali pertama aku menginjakkan kakiku di Bandung. Tak banyak yang kuketahui tentang Kota Kembang ini. Aku hanya mengenalnya dari buku-buku dan sedikit cerita dari kakak-kakak sepupuku. Beberapa kali mereka mewanti-wanti. “ Kau harus tahan udara dingin. Pikirkan dulu sebelum terlanjur, nanti kuliahmu bisa terbengkalai kalau sering sakit-sakitan”. Aku gamang menghadapi lingkungan yang benar-benar baru bagiku. Kuduga sakit maagku akan kambuh lagi.

Hari ujian SPMB semakin dekat. Sempat beberapa kali semangatku surut. Aku dilanda perasaan takut, malu dan tak percaya diri. Mana mungkin anak kampung sepertiku bisa lulus? Anak-anak SMA di sini telah jauh-jauh hari dipersiapkan dengan bimbingan belajar dari guru-guru jempolan. Sedangkan aku seperti tupai yang gelagapan mengumpulkan biji-bijian saat musim dingin tinggal menunggu hitungan hari. Usaha yang punya kemungkinan tipis untuk menang.
***
Angkot Caheum-Ledeng yang kutumpangi penuh sesak oleh penumpang. Rata-rata mahasiswa dan anak-anak sekolah. Langkah harus kupercepat ketika sampai di kampus, sebab 5 menit lagi pukul 7. Kelas akan segera dimulai.

Dari tadi kulihat dosenku seperti berpantomim. Suaranya tak jelas, kadang terdengar kadang tidak. Mendengung-dengung sebentar di telingaku, lalu lenyap entah kemana. Hanya ragaku yang duduk di kelas ini. Sedang pikiranku melayang melintasi jendela kaca yang terbuka. Lalu masuk angkot menuju stasiun, kemudian duduk dalam kereta menuju Jakarta. Terus melaju, singgah sebentar di Soekarno Hatta, terbawa pesawat lalu terbang menuju Pulau Belitong.

Tadi, sebelum masuk kelas, mobil-mobil mengkilat di parkiran Sipil membuat mataku silau. Sinar matahari yang dipantulkan cat-cat metalik itu seperti blitz kamera yang memflashback memoriku. Tiba-tiba ada perasaan benci sekaligus sedih dalam hatiku. Semakin hari, semakin sedikit kutemukan mahasiswa-mahasiswa bersahaja di kampus ini. Tak sedikit pula yang malas-malasan dan jika ujian tiba, mencontek menjadi jurus jitu andalan mereka. Mereka tak tahu bagaimana sulitnya sahabat-sahabatku dulu ingin bersekolah. Beberapa dari mereka harus kalah di tengah jalan. Bukan malas atau tak minat sekolah. Tapi kau tahu sendiri jawabannya, Kawan.
***
Sore ini kami punya acara seru. Aku dan enam sahabat sekelasku akan bermain bola, memetik buah asam jawa dan melihat orang membuat perahu. Ada rumah panggung sederhana berdinding kayu di tepi pantai yang akan kami kunjungi. Rumah sahabat kami, Basri namanya. Dia baru pindah ke sekolah kami. Tapi kami cepat sekali akrab dengannya. Sejak ia masuk, kelas kami makin berwarna. Dari kelas 2 kami tak punya teman anak nelayan. Naik ke kelas 4 Basri pindah ke Tanjungpandan. Sebelumnya ia tinggal di Seberang, sebuah semenanjung kampung nelayan di sebelah barat daya Tanjungpandan, kota kecil kelahiranku. Ayahnya seorang nelayan. Namun, jika musim angin barat tiba beliau beralih profesi menjadi kuli pembuat perahu.

Rumah Basri menghadap persis ke laut Tanjung Pendam, tak jauh dari sekolah kami. Di pekarangan kosong dekat rumahnya tumbuh pohon asam jawa yang sedang berbuah lebat. Ranum dan menggoda tangan-tangan kecil kami untuk melontarkan biji-biji kerikil dengan ketapel yang kami bawa. Setelah puas melihat orang-orang Bugis membuat perahu, kami bermain bola sampai air laut mulai pasang dan membasahi kaki-kaki kami. Sang surya pun mulai menunduk santun. Perlahan-lahan makhluk kuning kemerahan itu merapat, mencium bibir cakrawala. Cahayanya terang menyilaukan, kontras dengan langit sekelilingnya yang mulai gelap. Dari kejauhan kami anak-anak Melayu pesisir yang bahagia terlukis menjadi siluet yang begitu indah. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari Surau-Surau. Bersahut-sahutan tak putus-putus. Kami termenung dalam bisu mendengar panggilan mulia ini.
***
Akhir tahun ini hujan turun tak henti-henti. Matahari malu menampakkan wajahnya. Sesekali hanya mengintip sebentar dibalik gumpal-gumpal awan yang seperti bulu domba itu. Biasanya ada ritual asyik setiap pulang sekolah di musim penghujan ini. Aku dan sahabat-sahabatku akan pulang sekolah sambil mandi air hujan di tepi pantai. Tapi buku-buku dan sepatu kami telah kami bungkus rapat-rapat agar tak ikut basah. Maklum, rata-rata kami hanya punya sepasang sepatu. Beberapa temanku yang tak punya sepeda ikut menitipkan barang-barangnya di sepedaku, Maryam dan Rusli. Si kembar Fauzi dan Fadli tak mau ketinggalan. Mereka tak peduli, padahal kami tahu ayah mereka terkenal galak dan tak kompromi. Kami akan singgah di pantai Tanjung Pendam. Biasanya pada musim penghujan seperti ini, angin barat akan menggiring kawanan ubur-ubur sampai ke tepi pantai. Seru bukan, bermain air hujan di atas air laut yang seperti jelly.

Itulah pesta kami, anak-anak Melayu pesisir, bila musim penghujan tiba. Tapi ada yang terasa janggal hari ini. Basri tak masuk sekolah. Tanpa dia, permainan kami kurang seru. Tak ada cerita nelayan-nelayan tangguh yang sering diceritakannya pada kami. Aku khawatir ada apa-apa dengan ayahnya. Kudengar banyak nelayan yang terjebak badai di tengah laut. Mereka yang masih nekat melaut pada musim-musim seperti ini tak lain karena tuntutan periuk belanga. Merekalah tumpuan nafkah keluarga.

Sejak saat itu aku tak pernah lagi bertemu Basri. Kata salah seorang tetangganya, keluarga Basri pindah kembali ke Seberang. Waktu itu, rumah Basri di Tanjungpandan rusak diterjang pasang dan angin laut yang ganas. Basri tak pernah sekolah lagi. Keluarga sederhana itu kelelahan menopang hidup, maka keinginan Basri untuk sekolah harus dikuburnya dalam-dalam.
***
Betapa kuat kenangan masa kecil itu tertancap dalam batinku. Bahkan tetap kuingat sampai belasan tahun kemudian. ”Woi, ayo ke GKU! Mau kuliah Kontrol Otomatik tidak?” Tiba-tiba lamunanku buyar ketika Mira memanggilku. Ah, mobil-mobil mahasiswa kaya itu! Di kampus ini kutemukan lagi sebuah paradoks yang membuat hatiku perih.

Bandung, 25 Februari 2008
Terinspirasi dari pengalaman pribadi masa kecilku...

Tukang Photocopy, profesi yang terabaikan...

Bertebaran kios-kios mungil di sekitar pusat peradaban yang bernama kampus. Tempat segala macam ilmu diajarkan, dikembangkan, bahkan disombongkan. Kampus bagaikan magnet yang mampu menghisap rupa-rupa manusia. Mulai dari anak-anak kampung yang menggantungkan cita-cita tinggi sampai tukang photocopy yang kelelahan mengikuti putaran deras drum penggiling kertas.

Berupa-rupa ilmu beterbangan, melayang, menggaung dari jendela dan pintu-pintu. Ada pula yang masuk lewat mata dan telinga yang haus menanti ilmu. Kadang banyak mimpi yang lewat sekedar menyapa, lalu hilang ditelan hiruk pikuk mahasiswa. Begitu dinamis rupanya kehidupan di dalam kampus. Sedinamis pikiran-pikiran cemerlang para mahasiswanya.

Tapi di sudut-sudut kecil kios photocopy aku menemukan paradoks yang membuat hatiku ngilu. Dari mahasiswa tingkat I sampai profesor yang sudah karatan pernah menjadi langganan kios-kios kecil itu. Berlembar-lembar, tak putus-putus kertas bertuliskan bermacam-macam teori, angka-angka sampai dokumen-dokumen penting, bergulung sebentar lalu keluar sebagai saudara kembar. Sinar kekuningan menyilaukan, menyelinap serupa pisau-pisau cahaya.

Mungkin dulu ia punya cita-cita. Lembaran-lembaran kertas itu begitu menyilaukan, menyayat mata hatinya. Mengingatkannya akan mimpi-mimpi sepi yang telah lama ia kubur dalam-dalam. Ada kerinduan yang membuncah dalam hatinya. Ia membayangkan dirinya duduk santun di kelas berjendela kaca. Menyimak, bertanya, berdebat tentang berupa-rupa ilmu. Atau sekedar kelelahan bergadang dalam malam-malam panjang untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Ah..tapi mimpi-mimpi itu telah lama terenggut darinya. Alasan klasik memang, tak punya biaya.

Kini partikel-partikel toner menyebalkan inilah yang harus dihadapinya tiap hari. Yang pelan-pelan menggerayangi buluh-buluh nafasnya, ada risiko kanker dan asma disana. Kelelahan ia melupakan mimpi-mimpinya, tapi kertas, mesin photocopy dan mahasiswa-mahasiswa itu tak puas-puas melukai hatinya.

Bandung,24 Februari 2008