Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan ke tiga
yang akan kuhabiskan di negeri ini, Ramadhan ke tiga pula yang bertepatan
jatuhnya dengan musim panas. Sanak saudara, handai taulan dan kaum kerabat yang
berada jauh di tanah air acap kali bertanya, pukul berapa kami memulai puasa
dan pukul berapa pula kami berbuka. Puasa di musim panas kurang lebih kami
lakukan selama 19 jam, sejak pukul 3 dini hari dan matahari baru beranjak ke
peraduannya menjelang pukul 22 malam. Lalu bagaimana kami mengatur jarak waktu yang begitu singkat antara pukul 22 hingga
pukul 3, untuk bebuka, melakukan ibadah harian Ramadhan, sahur hingga sholat
subuh? Lalu, apa kami tidak tidur dan bagaimana pula kami menghabiskan waktu
siang yang panjang dan panas dengan kegiatan sehari-hari seperti biasa? Tiap
orang akan mempunyai jawaban berbeda.
Aku pun mempunyai cara tersendiri bagaimana
menyiasati Ramadhan di musim panas ini. Biasanya aku memulai kegiatan di kampus
dan laboratorium seperti biasa, kira-kira mulai pukul 8 pagi hingga pukul 5
sore. Sepulang dari kampus, sambil menunggu waktu Ashar kira-kira pukul 6 sore,
aku akan memasak makanan praktis yang tak sampai berjam-jam memerlukan waktu. Setelah mandi selepas
Ashar aku pun akan bersiap-siap untuk tidur. Tak mudah memang, pukul 6 sore
matahari masih terang benderang, panas dan menyilaukan, seperti matahari pukul
3 sore di Indonesia. Lalu aku akan bangun menjelang pukul 22 untuk berbuka dan akan
terus terjaga hingga subuh menjelang. Lepas subuh, pukul setengah 4 pagi aku
pun akan tidur kembali dan bangun kira-kira pukul 7 pagi.
Begitu terus
berulang-ulang, hingga hari terakhir Ramadhan yang biasanya hanya mempunyai
selisih durasi siang hari kurang lebih satu setengah jam lebih pendek
dibandingkan hari pertama. Aku takjub, bagaimana Allah menciptakan kesempurnaan
pada tubuh manusia. Secara logika, tak sanggup rasanya melewati hari-hari
melelahkan seperti itu, tanpa makan dan minum di siang hari yang tak jarang
temperaturnya melonjak hingga mendekati 40°C, dengan jam tidur yang tak „normal“
serta relatif kurang istirahat. Tapi, begitulah Allah sebaik-baik Pencipta,
Alhamdulillah hingga hari ini aku dan saudara-saudaraku di sini baik-baik saja
dan tak kekurangan sesuatu apapun juga. Bahkan kami tetap bisa melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasa di siang hari. Tak jarang pula aku
melakukan kegiatan-kegiatan „konyol“ bersama kawan-kawanku. Dua tahun yang
lalu, saat matahari menyengat hampir 38°C, hari terakhir Ramadhan kuhabiskan
dengan bersepeda keliling kota Groningen bersama kakak sepupuku, Kak Anis. Ramadhan
tahun lalu, aku dan sahabatku Mira sempat pula menghabiskan satu hari nan panas
di kota Köln, kami bertemu seorang Bapak penjual cherry asal Suriah yang menghadiahi
kami bonus cherry ½ kg karena tahu bahwa kami sedang berpuasa, sama seperti
dirinya. Kami juga sempat bertemu rombongan pemuda berwajah Timur Tengah dan
Eropa yang membagi-bagikan Mushaf Al Qur’an berbahasa Jerman yang masih menghiasi
rak bukuku hingga hari ini.
Sahur perdanaku
tahun ini sedikit istimewa. Kemarin, pagi-pagi sekali aku menyempatkan diri
untuk mengunjungi Mak Long Nani, Tanteku di kota Wegberg, sebuah kota kecil
yang kutempuh kurang lebih 2 jam dari Bochum dengan kereta dan bis. Wegberg adalah kota kecil yang cantik. Di
musim panas seperti ini ladang-ladang pertanian sedang ranum-ranumnya. Berhektar-hektar ladang gandung,
kentang, jagung, raps, dan berbagai jenis sayur-sayuran menghampar luas sejauh
mata memandang. Rumah-rumah penduduk berjajar rapi dengan taman-taman kecil
berhias bunga warna-warni yang sedang mekar-mekarnya. Mak Long menyiapkan
masakan istimewa hari ini: gangan, pepes, dan tumis tauge, masakan rumahan khas
Belitong, kampung halaman kami. Menjelang sore aku pulang dengan tas yang penuh
berisi makanan-makanan tadi. Kata Mak Long, oleh-oleh untuk sahur pertamaku. Alhamdulillah,
...“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?“.
Bochum, 28
Juni 2014