Saturday, June 28, 2014

Catatan Ramadhan 1435 H - 1 Ramadhan, Hari Pertama

Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan ke tiga yang akan kuhabiskan di negeri ini, Ramadhan ke tiga pula yang bertepatan jatuhnya dengan musim panas. Sanak saudara, handai taulan dan kaum kerabat yang berada jauh di tanah air acap kali bertanya, pukul berapa kami memulai puasa dan pukul berapa pula kami berbuka. Puasa di musim panas kurang lebih kami lakukan selama 19 jam, sejak pukul 3 dini hari dan matahari baru beranjak ke peraduannya menjelang pukul 22 malam. Lalu bagaimana kami mengatur jarak waktu  yang begitu singkat antara pukul 22 hingga pukul 3, untuk bebuka, melakukan ibadah harian Ramadhan, sahur hingga sholat subuh? Lalu, apa kami tidak tidur dan bagaimana pula kami menghabiskan waktu siang yang panjang dan panas dengan kegiatan sehari-hari seperti biasa? Tiap orang akan mempunyai jawaban berbeda.

Aku pun mempunyai cara tersendiri bagaimana menyiasati Ramadhan di musim panas ini. Biasanya aku memulai kegiatan di kampus dan laboratorium seperti biasa, kira-kira mulai pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore. Sepulang dari kampus, sambil menunggu waktu Ashar kira-kira pukul 6 sore, aku akan memasak makanan praktis yang tak sampai berjam-jam memerlukan waktu. Setelah mandi selepas Ashar aku pun akan bersiap-siap untuk tidur. Tak mudah memang, pukul 6 sore matahari masih terang benderang, panas dan menyilaukan, seperti matahari pukul 3 sore di Indonesia. Lalu aku akan bangun menjelang pukul 22 untuk berbuka dan akan terus terjaga hingga subuh menjelang. Lepas subuh, pukul setengah 4 pagi aku pun akan tidur kembali dan bangun kira-kira pukul 7 pagi.
 
Begitu terus berulang-ulang, hingga hari terakhir Ramadhan yang biasanya hanya mempunyai selisih durasi siang hari kurang lebih satu setengah jam lebih pendek dibandingkan hari pertama. Aku takjub, bagaimana Allah menciptakan kesempurnaan pada tubuh manusia. Secara logika, tak sanggup rasanya melewati hari-hari melelahkan seperti itu, tanpa makan dan minum di siang hari yang tak jarang temperaturnya melonjak hingga mendekati 40°C, dengan jam tidur yang tak „normal“ serta relatif kurang istirahat. Tapi, begitulah Allah sebaik-baik Pencipta, Alhamdulillah hingga hari ini aku dan saudara-saudaraku di sini baik-baik saja dan tak kekurangan sesuatu apapun juga. Bahkan kami tetap bisa melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasa di siang hari. Tak jarang pula aku melakukan kegiatan-kegiatan „konyol“ bersama kawan-kawanku. Dua tahun yang lalu, saat matahari menyengat hampir 38°C, hari terakhir Ramadhan kuhabiskan dengan bersepeda keliling kota Groningen bersama kakak sepupuku, Kak Anis. Ramadhan tahun lalu, aku dan sahabatku Mira sempat pula menghabiskan satu hari nan panas di kota Köln, kami bertemu seorang Bapak penjual cherry asal Suriah yang menghadiahi kami bonus cherry ½ kg karena tahu bahwa kami sedang berpuasa, sama seperti dirinya. Kami juga sempat bertemu rombongan pemuda berwajah Timur Tengah dan Eropa yang membagi-bagikan Mushaf Al Qur’an berbahasa Jerman yang masih menghiasi rak bukuku hingga hari ini.

Sahur perdanaku tahun ini sedikit istimewa. Kemarin, pagi-pagi sekali aku menyempatkan diri untuk mengunjungi Mak Long Nani, Tanteku di kota Wegberg, sebuah kota kecil yang kutempuh kurang lebih 2 jam dari Bochum dengan kereta dan bis. Wegberg adalah kota kecil yang cantik. Di musim panas seperti ini ladang-ladang pertanian sedang ranum-ranumnya. Berhektar-hektar ladang gandung, kentang, jagung, raps, dan berbagai jenis sayur-sayuran menghampar luas sejauh mata memandang. Rumah-rumah penduduk berjajar rapi dengan taman-taman kecil berhias bunga warna-warni yang sedang mekar-mekarnya. Mak Long menyiapkan masakan istimewa hari ini: gangan, pepes, dan tumis tauge, masakan rumahan khas Belitong, kampung halaman kami. Menjelang sore aku pulang dengan tas yang penuh berisi makanan-makanan tadi. Kata Mak Long, oleh-oleh untuk sahur pertamaku. Alhamdulillah, ...“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?“.

Bochum, 28 Juni 2014