Ingatanku tiba pada suatu malam yang sangat biasa, aku,
ayahku, ibuku, dan abangku, saudara kandungku satu-satunya. Rembulan mengawang rendah, awan tipis
seperti berasap-asap melingkupi bola matanya yang sendu. Cahaya pucatnya berpendar dipantulkan pucuk-pucuk pohon kelapa
yang melambai-lambai, entah kepada siapa. Aku dipakaikan ibu jaket wol hijau
tua, sedikit berbunga, tapi tak berenda. Abang dipakaikan ayah jaket bercorak
hitam, coklat muda, dan biru tua, dari bahan wol juga.
Sisa hujan sore tadi masih menggenang di tepian jalan aspal
berbatu. Suara jangkrik menguasai sudut-sudut temaram di tepi padang ilalang,
menebas sepi-sepi. Sepeda motor ayah, Yamaha PX-80, warna merah, masih kerap
lalu lalang dalam mimpiku. Malam tadi, ia menghampiriku.
Seperti yang dikisahkan kunang-kunang kepadaku. Malam itu,
kami pulang dari rumah kakek, ayah membonceng abang di bagian depan, ibu duduk
di bagian belakang, aku digendong ibu sehingga pandanganku menghadap ke
belakang. Pada malam yang dingin itu, hanya aku saja yang menatap teduh wajah
rembulan, sesekali ia merayuku, tak ada orang lain tahu. Aku bertanya pada
ibu: “Wahai ibu, mengapakah gerangan rembulan mengikutiku dan masih tak hendak
pulang? Bukankah malam semakin merambat? Tak takutkah ia dipeluk gelap?” Semakin erat ibu mendekapku. “Tidurlah Nak, sebentar lagi kita sampai”.
Payung langit dipenuhi anak-anak bintang yang berkerlap-kerlip
memperhatikan kami. Seperti untaian cinta ayah yang mencium lembut rambut
abang, seperti helaian cinta ibu yang menidurkanku dalam pelukannya, malam yang
sangat biasa itu sesungguhnya teramat istimewa.
Bandung, 24 Februari 2016