Wednesday, June 10, 2015

Merantau dan Lihatlah Dunia di Luar Sana

Apa yang ada di benak Anda saat mendengar kata "merantau"? Bagi saya pribadi, merantau tak hanya sekedar meninggalkan kampung halaman berbekal nekat, namun pola pikir yang matang harus dibangun jauh-jauh hari, jauh sebelum langkah kaki meninggalkan segala kenyamanan di tanah kelahiran. Segala kemungkinan tak terduga, baik kemungkinan positif maupun negatif akan kita temui di negeri orang. Yang pertama harus dipersiapkan adalah tujuan apa yang ingin kita capai di perantauan nanti. Tak ada salahnya bermimpi, bahkan mimpilah yang masih menjadi bara semangat yang tetap menyala, yang menguatkan saya menjalani hari-hari. Jangan lupa persiapkan mental sekeras baja dan kunci terakhir adalah tawakal.

Motivasi terbesar saya ketika merantau meninggalkan kampung halaman adalah keinginan untuk mengisi masa muda dengan ilmu-ilmu baru, duduk bersama orang-orang yang belum saya kenal sebelumnya, mendengarkan kuliah dari guru-guru terbaik, membaca buku-buku dari perpustakaan-perpustakaan terbaik, serta mengenal orang-orang dari berbagai ras dan kebudayaan yang berbeda-beda. Singkatnya, saya ingin melihat dunia, melebihi sekat-sekat bahasa, usia, ruang dan waktu.

Dalam era globalisasi sekarang ini, dunia seakan tanpa sekat. Orang-orang dengan mudahnya bisa bepergian ke sana ke mari dalam waktu yang relatif singkat. Arus deras informasi menghantam dari segala penjuru. Apa jadinya jika kita tak mempersiapkan bekal dalam diri kita? Tentunya kita akan terombang-ambing seperti tanpa pendirian, menjadi gagap budaya, gagap kepribadian serta gagap-gagap lainnya yang akan susul-menyusul menghantui hidup kita. Bekal pertama bagi seorang anak adalah pendidikan keluarga, satuan komunitas terkecil, tempat segala mimpi bermula. Kepribadian yang kuat, nilai-nilai moral dan agama yang baik, akan menjadi mata uang berharga yang akan berlaku sepanjang usia.

Salah satu benang merah yang mewarnai motivasi orang untuk merantau adalah kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Pendidikan tak pernah mengenal usia, berapa pun usia Anda, jangan pernah berhenti belajar. Bagi generasi muda, kesempatan emas ini jangan disia-siakan. Sebelum kesehatan terenggut dari tubuh kita, sebelum waktu terampas oleh kesibukan-kesibukan lainnya, isilah masa muda untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Generasi muda khususnya, mempunyai kesempatan luas untuk menuntut ilmu di negeri orang. Kesempatan terbuka lebar di depan mata, kembali ke diri sendiri, mau atau tidak kita memanfaatkan kesempatan-kesempatan tersebut. Saya sering menemui anak-anak muda dengan potensi luar biasa, tapi ketidakpercayaan diri mengungkung keberanian mereka untuk melangkah. Rasa rendah diri karena berasal dari daerah atau keluarga yang kurang mampu, rasa minder karena dibesarkan di kampung, dan beban-beban negatif lainnya telah menghalangi sekian banyak bibit-bibit unggul di masa depan untuk menularkan energi-energi positif bagi lingkungan di sekelilingnya.

Sebelum melangkah meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan pendidikan, terutama selepas SMA, kita harus mengetahui lebih dahulu, potensi dan bakat terbesar apa yang ada dalam diri kita masing-masing. Jika sudah yakin, carilah sekolah dan lingkungan terbaik untuk mengembangkan bakat dan potensi tersebut. Tancapkan cita-cita untuk bergabung di lingkungan pendidikan terbaik. Tercapai atau tidak nantinya, itu urusan belakangan. Namun, motivasi awal ini akan menjadi bekal kita untuk mempersiapkan usaha terbaik demi mewujudkannnya.

Saya memperhatikan dengan seksama sistem pendidikan di Jerman, di mana sedari kecil anak-anak Jerman sudah diajak untuk mengenal potensinya masing-masing. Pendidikan dasar diwarnai sebagian besar oleh proses bermain, anak-anak tak terlalu disibukkan dengan beragam PR yang menyita waktu bermain mereka. Melalui proses bermain yang menyenangkan ini, mereka diarahkan untuk mengenal hobi dan bakat masing-masing. Dalam tahap pendidikan selanjutnya, sejak kira-kira tingkat setara SMP, mereka sudah harus memilih sekolah jenis apa yang menentukan nasib mereka nantinya sampai tahap perguruan tinggi. Sistem ini meminimalisasi gagap dan kebingungan-kebingungan yang umumnya dialami anak-anak selepas SMA ketika akan memilih program studi di perguruan tinggi.

Saya tak ingin menyalahkan sistem pendidikan yang berlaku sekarang di Indonesia, di mana sekolah-sekolah pada umumnya belum bisa memfasilitasi terlalu jauh untuk mengenali dan mengembangkan bakat dan potensi diri ini. Lingkungan dan budaya kita tak jarang masih mempunyai pola pikir, bahwa anak pintar itu adalah anak yang meraih nilai-nilai terbaik bidang eksakta, atau "straight A" dalam semua mata pelajaran. Padahal, kecerdasan itu tak hanya kecerdasan matematika dan sains, banyak kecerdasan lain yang tak kalah berharga, seperti kecerdasan dalam bidang seni, olahraga, dan lain-lain. Manusia dikaruniai bakat-bakat yang berbeda-beda untuk menjadi yang terbaik sesuai potensinya masing-masing jika dimaksimalkan. Dengan sistem dan budaya sekeliling yang belum terlalu mengakomodasi tujuan ini, tugas kitalah untuk memaksimalkan pencarian diri masing-masing. Maksimalkan potensi yang ada sejak belia, warnai dengan kepercayaan diri dan bercita-citalah setinggi-tingginya.

Selain ketidakpercayaan diri, hal lain yang sering menghinggapi generasi muda yang baru merantau ke luar daerah adalah sifat "ikut-ikutan" atau dalam bahasa Belitung dikenal istilah "seuru'-uru'an". "Seuru'an-uru'an" ini adalah sifat yang sangat berbahaya, apalagi seringkali menyerang pada fase-fase kritis yang sangat menentukan. Anak-anak muda yang dihinggapi sifat ini hatinya dipenuhi oleh euforia karena baru saja mencapai tahap paling keren dalam hidupnya: lulus SMA dan diizinkan oleh orang tua untuk pertama kalinya merantau meninggalkan tanah kelahiran. Akibatnya, mereka lupa tujuan awal untuk apa mereka merantau. Padahal kompetisi yang luar biasa sudah menunggu di depan mata. Untuk mendapatkan sekolah dan lingkungan pendidikan terbaik, tentunya kita harus bersaing dengan ribuan siswa dari seluruh tanah air. Persaingan sengit sesungguhnya dimulai pada tahap ini, bukan hanya sebelum menghadapi UN.

Kepercayaan diri, motivasi dan tujuan yang kuat serta moral dan kepribadian yang tangguh adalah bekal terbaik yang harus kita persiapkan untuk meraih cita-cita. Apapun yang akan kita hadapi di luar sana, kita tak akan kehilangan pijakan paling dasar: motivasi untuk bermanfaat bagi orang banyak dalam bidang apapun yang akan kita geluti nantinya. Merantau akan melatih mental kita sekeras baja, karena berupa-rupa pengalaman yang akan kita temui tak akan selalu manis. Keberhasilan dan kegagalan hanyalah bagian yang sangat relatif, proses yang kita jalani adalah pelajaran sesungguhnya yang tak akan pernah kita peroleh jika kita hanya berdiam diri di zona nyaman dan tanah kelahiran sendiri. Merantau pada akhirnya akan mengantarkan kita pada perjalanan-perjalanan tak terduga, bukan hanya untuk mengenal dunia, tapi lebih dari itu, dalam perjalanan panjang tersebut kita akan diajak untuk mengenal siapa diri kita sesungguhnya. Betapa kerdilnya kita di hadapan Sang Pencipta dan alam raya yang tak akan ada habis-habisnya untuk kita jelajahi sampai akhir usia.




Mengutip sebuah syair yang sangat terkenal dari Imam Syafi'i, cukuplah rindu pada tanah kelahiran yang menguatkan para perantau menjelajahi setiap jengkal tanah-tanah impian.

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkanlah negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak 'kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak 'kan dapat mangsa
Anak panah jika tak tinggalkan busur tak 'kan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam
tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa sebelum ditambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan

Merantaulah
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkanlah negerimu dan menjadi asinglah di negeri orang

Bochum, tepian Sungai Ruhr, 9 Juni 2015