Saturday, November 03, 2012

Aku ketika Tua [2]


Temaram beranda tersiram purnama, sesekali serangga malam singgah mencari cahaya. Kita hanyalah bayang-bayang samar menuju malam. Di antara rumpun-rumpun gelagah di kaki bukit sana, dulu pernah kau bercerita. Ada nelayan paruh baya, terampil dia membuat perahu. Dia tak pernah sekolah, tapi mahir membaca gugus bintang, haluan satu-satunya saat dia berada di tengah samudera.

Katamu, belajar itu sederhana saja. Mimpiku dulu tak muluk-muluk, kau juga. Toh sekarang dalam damai yang sederhana, sudah lebih dari cukup kita habiskan usia senja kita. Aku menulis, kau membaca. Kau melukis, aku bersenandung saja. Entah berapa sore lagi yang tersisa untuk kita di beranda ini. Tak banyak tanda, tahu-tahu telah lewat satu minggu, satu bulan, satu tahun, dan kita pun semakin menua.

Obrolan kita tak jauh dari kata "dulu", dan selorohmu menertawakan kebodohan-kebodohan masa muda kita. Suatu waktu kau berkata, katamu kau ingin melihat ujung dunia, entah dimana. Ujung dunia? Saat nafas-nafas manusia seperti meniti hati-hati di pinggir jurang desing peluru? Atau, saat sunyi mengendap lamat-lamat di tepi-tepi jurang gemunung tengah benua? Kakiku pernah ke sana, kau juga. Lalu kita tersenyum bangga atas pencapaian konyol sepanjang masa.

Besok kalau ada waktu, aku ingin merombak perpustakaan kita. Rak buku kita juga sudah menua. Kata anak-anak di sekolah Pak Cik, mereka ingin menghabiskan libur Ramadhan di perpustakaan kita. Siap-siap lah kau hibur mereka. Kalau musim sedang bagus, akan kuajak mereka ke hutan mencari cendawan atau boleh kau ajak mereka memotret senja di ujung muara.

Tahun depan, muridku dulu hendak berlibur ke sini katanya. Musim panas ini, dia akan pulang membawa oleh-oleh dari negeri sakura, rampung sudah studinya setelah 5 tahun yang penuh warna. Satu persatu muridku menjelajah dunia, kini kutahu apa itu rasa bangga di hati seorang guru. Bagaimana kabar sahabatmu dulu? Masih sering dia mendaki gunung? Satu persatu pula sahabat terbaik mendahului kita, kita pun menunggu giliran tiba.

Semalam aku bermimpi melihat ladang gandum luas tak bertepi, sudah kuning kecoklatan menunggu panen raya. Lalu kita berubah kembali muda, tiba-tiba seekor elang terbang labuh ke arah kita. Matanya mengancam penuh selidik. Pertanda apa, entahlah. Aku ragu, apakah tahun depan masih ada untuk kita? Mungkin potret kemarin sore di dermaga itu, bayang terakhir kita.

Bila aku mendahuluimu, aku ingin kau teruskan tulisanku tentang rumah hari tua, naskahnya sudah kusimpan rapi di komputer kita. Pun bila engkau yang mendahuluiku, akan kuteruskan petualanganmu menyusuri kampung pesisir setiap senja. Merangkai potret diam namun pandai bercerita, lalu kutulis kisah bahwa aku bangga pernah dipertemukan dengan seorang manusia, kau...

Bochum, 4 November 2012
Photo illustration by Ponda Sujadi
[Sambungan dari tulisan pertama: http://maktjik.blogspot.de/2012/11/aku-ketika-tua.html]

Aku ketika Tua


Pokok-pokok cengkeh berjajar di tepi padang rumput, ilalang bergoyang lembut disapa angin, di bukit ini rumah kita, sederhana saja, panggung kayu beratap rumbia. Di beranda ini kita habiskan sore, berbincang tentang nostalgia, sambil menyeruput kopi hangat, lalu kucing kita bermanja-manja tak hendak lepas dari pangkuan. Kalau hujan tentulah aku yang akan lebih berbahagia, carik-carik kertas nampaknya akan lebih banyak tergores tinta, besok saja kita berburu senja.

Coba kau lihat di ujung muara, perahu itu pun hanya tergolek ditinggalkan tuannya, cuaca sedang tak berpihak pada kita. Kalau besok cerah, kutemani lah kau mencari angin. Dulu waktu kita masih muda, pernah kau bercerita tentang layang-layang yang sekonyong-konyong putus dari talinya, pemiliknya entah siapa. Kapan-kapan boleh kau ajak anak-anak bermain layang-layang di pekarangan kita.

Besok sudah hari Jumat, sebentar lagi musim anak-anak libur sekolah. Sholatlah di Surau, sementara aku ingin menghabiskan sisa hari di sekolah Pak Cik. Minggu lalu anak-anak bertanya tentang persoalan aljabar sederhana, kupenuhi janjiku besok. Sebenarnya aku hanya ingin bercerita saja pada mereka. Lalu jemputlah aku menjelang pukul empat, lepas Ashar kita ke dermaga saja, naik sepeda. Barangkali saja senja besok itu senja milikmu, seperti tempo hari. Silhoutte perahu nelayan kapan hari itu jadi kesayanganku hingga hari ini. 

Tiba-tiba kita terdiam, dan aku bertanya memecah bisu: "Pernah kau menyesal tentang masa muda?" Katamu, "Ah, untuk apa? Toh, hari tak akan bergerak mundur. Kau mau habiskan sisa umurmu di sini saja aku sudah bahagia". "Ya sudah, hari sudah sore, jangan lupa kau tutup pintu kandang ayam kita, sementara aku menyalakan lampu pelita. Nanti malam lepas mengaji, kita makan di beranda depan, bulan sedang purnama, tak kalah cantik dibanding senja di dermaga".

Bochum, 3 November 2012
Photo illustration by Ponda Sujadi
[Bersambung ke tulisan ke dua: 
http://maktjik.blogspot.de/2012/11/aku-ketika-tua-2.html]

Surat kepada Kawan

Hujan baru berhenti menyisakan jalan setapak basah yang dipenuhi dedaunan merah kekuningan. Langkahku sedikit terseok demi menghindari genangan air sambil memanggul ransel yang sedikit berat. Hari masih sangat muda, mendung menggelayut rendah disertai hembusan angin dingin, musim gugur sudah menghampiri kami. 

Stasiun sudah ramai oleh lalu lalang manusia. Kawan, hidup ini tak ubahnya penumpang di stasiun kereta, masing-masing menunggu gilirannya tiba.

Kereta yang membawaku melaju meninggalkan kota kecilku, Bochum. Kota kecil yang telah membuatku jatuh cinta akan kesederhanaannya. Dulu, dulu sekali, Bochum dan kota-kota lainnya di sepanjang Sungai Ruhr adalah kawasan pertambangan dan industri berat. Berpuluh-puluh tahun kawasan ini berkarat karena beban kerusakan lingkungan. Sungai-sungai tercemar, polusi udara menjadi-jadi. Tapi, semua itu tinggal kenangan menyisakan romantisme nostalgia masa lalu untuk dijadikan pelajaran berharga bagi generasi selanjutnya.

Saat ini, area-area bekas tambang dan industri tersebut dijadikan kawasan-kawasan konservasi dan museum-museum yang menarik perhatian wisatawan dari seluruh dunia. Musim panas yang lalu, sempat kukunjungi beberapa industriekultur di Ruhr area. Butuh waktu berpuluh-puluh tahun dan biaya yang tidak sedikit untuk mengembalikan keseimbangan alam yang terlanjur rusak. Itu pun tak akan pernah kembali seperti semula.

Kereta yang membawaku terus melaju memasuki daerah Bavaria. Rumah-rumah petani di tepi ladang nan hijau berkerumun di sela-sela bukit tepian sungai. Daun-daun mulai menguning kemerahan, melukis keindahan khas musim gugur. Aku dilahirkan jauh di negeri tropis, diasuh lembut hawa hangat sepanjang tahun. Pulau kelahiranku ibarat mimpi-mimpi keindahan dunia yang mendayu-dayu. Pantai perawan berpasir putih, sejauh mata memandang hanya laut biru, gemuruh ombak menghempas saling beradu, hasil laut melimpah ruah. Perahu-perahu nelayan terombang-ambing dipermainkan ombak. Senja mengantarkan mereka dalam harmoni, dipeluk malam nan syahdu. Di sana kutinggalkan jejak-jejak masa kecilku, kurajut cita-citaku hingga hari ini.

Pulauku telah menderita sakit yang berkepanjangan. Namun, seperti tak habis-habis beban yang selama ini telah membuatnya berkarat dan terluka. Ancaman datang silih berganti di darat dan di laut. Perkebunan kelapa sawit berhektar-hektar, lubang-lubang menganga bekas tambang telah merenggut berhektar-hektar pula kawasan hutan yang seharusnya dilindungi. Kabar buruk lain kini berhembus sampai ke telingaku. Dari jendela kereta, tatapanku menerawang jauh, hatiku gundah.

Kubayangkan kapal-kapal hisap nan serakah akan mengeruk laut kami, menyisakan keruh air mata. Tak akan ada lagi laut biru tempat nelayan-nelayan kami nan berani menggantungkan periuk belanga keluarganya. Awan hitam bergumpal-gumpal menggiring mimpi buruk dari tanah seberang, Pulau Bangka yang sudah terlanjur luluh lantak oleh tangan-tangan celaka.

Wahai Kawan, semua keindahan ini hanya titipan Tuhan. Tak adalah hak kita untuk menjadi rakus tak terkendali. Tak belajarkah kita dari sejarah yang sudah-sudah, tak ada kesudahan yang baik bagi tangan-tangan serakah. Wahai tangan-tangan celaka, jangan kau renggut tanah dan laut kami. Di sanalah hidup, kebanggaan, dan harga diri kami.

Tangan-tangan kecilku meraba-raba kerang di sepanjang pantai. Mentari mulai beranjak ke peraduan, sinarnya menyilaukan. Kulihat silhouette perahu-perahu nelayan di kejauhan. Bayang-bayang masa kecilku saling beradu di balik jendela kereta. Pantai-pantai di pulau kecilku tak banyak berubah dan aku ingin tetap mengingatnya seperti itu, indah dalam kesederhanaan yang akan kami wariskan hingga anak cucu nanti.

Lima jam berlalu, keretaku tiba di stasiun terakhir, Erlangen. Lalu lalang manusia tak kuhiraukan lagi. Mataku basah karena rindu sekaligus gundah. Aku bukanlah siapa-siapa, tapi rasa cintaku kepada tanah kelahiranku tak perlu kau pertanyakan lagi, Kawan. Kutitip doa dan rindu untuk mereka yang berjuang dengan harapan yang tak pernah padam untuk menjaga pulau kami. Selamat berjuang!

Sejauh mata memandang hanya laut biru
membentang, kurentangkan kedua tanganku
angin penuhilah paru-paruku
ingin kuhabiskan hariku di atas perahu
terombang ambing tak peduli melawan waktu
gemuruh ombak, bawa aku pulang ke laut biru

Bochum-Erlangen, musim gugur 2012


Perwakilan Bangsa-Bangsa

Gadis Rusia tetangga sebelah semakin hari semakin menjadi perokok berat, tak pernah kulihat wajahnya pagi-pagi sudah sekusut itu. Pernah suatu malam aku terbangun hendak ke kamar kecil, kuperhatikan dia merokok sambil murung di balkon. Apa yang sedang dipikirkannya di malam selarut itu, atau kalau tidak, sudah bisa kusebut pagi buta. Lucunya tetangga baru sebelah kamarnya adalah seorang dokter berkebangsaan Syria. Dokter Syria itu bernama campuran barat & Arab, baru pertama kukenal orang Arab beragama Nasrani, dan dia selalu bangun sejak dini hari. 

***

Di kamar ujung sebelah utara ada pula gadis Israel, keyboard laptopnya pun berhuruf Hebrew, dengan takzim dia mengenalkan diri & mengucapkan salam, tak kusangka dia seorang Muslim. 

***

Ada lagi nona-nona asal Korea, pintar sekali memasak & baik hati, dia tak berbahasa Inggris, hanya Korea & Jerman dengan pelafalan yang harus kudengar dengan seksama. Oiya kami juga punya wakil baru, seorang gadis peranakan Jerman-Kenya, wajahnya campuran seperti Obama, fasih Inggris, Jerman & Swahili, cerdas penuh inisiatif.

***

Gemerosok timbul tenggelam suara radio dari negeri jauh di seberang samudera, sayup-sayup kudengar percakapan asing dari ruang tengah, gadis Finlandia itu kah?

***

Aku menemukan diriku tenggelam dalam pusaran berbagai budaya yang begitu deras. Kudengar berbagai bahasa dari penutur aslinya. Jiwa mudaku begitu menikmatinya.

Bochum, musim gugur 2012

Sebagian tetangga selantai, dari kiri ke kanan: Korea, Syria, Malaysia, Finlandia, Israel, Uganda, Jerman-Kenya, Jerman-Rusia, Jerman, Jerman, Jerman. 4 orang lagi yang tidak hadir berasal dari Rusia, Thailand, India dan Jerman

Debat dua Purnama

kita selalu meributkan apa saja,
tentang hangat yang tak kunjung betah berlama-lama,
tentang hujan yang sering menyapa tiba-tiba.

kita pernah berdebat tentang apa saja,
tentang pilkada ronde kedua,
tentang tangan-tangan serakah di kampung kita.

kita boleh bertengkar tentang apa saja,
tentang harga beras yang tak pernah mengiba,
tentang nasib nelayan musim purnama.
tapi aku tak mau kita berdebat tentang cinta,
juga tentang cita-cita, itu saja...

Bochum, 19 September 2012


Rinai Hujan bulan September

Rinai hujan ditiup angin tenggara. Mendayu-dayu bisiknya mencumbui daun-daun maple merah muda. Sayup-sayup badai bergemuruh, jauh, tapi belum ingin mereda. Jendela kaca basah berinai-rinai disiram matahari sore.

Lalu bisu mengendap lamat-lamat dalam hitam pekat awan bergumpal-gumpal. Menyusup angin dari celah-celah, dingin mengiris. Musim berganti. Suatu waktu helai-helai kekuningan gugur menciumi tanah basah. Membusuk, tapi tak lantas hina. Suatu waktu ranggas seolah mati dalam beku.

Lalu pelan-pelan mereka memeluk akar, pokok dan ranting-ranting. Sampai musim menghangat tahun depan, ketika helai-helai itu berebut mengait di ujung ranting. Diam seribu diam, sabar seribu sabar, tekun merenda-renda. Lewat musim-musim, begitulah alam mengajar dalam seribu peribahasa.

Bochum, 19 September 2012


Bulan Hampir Separuh

Hari-hari di awal bulan September adalah hari-hari ketika siang mulai memendek. Musim panas hampir usai, sesekali kami masih bisa menikmati bonus matahari walaupun tak sehangat matahari bulan Agustus. Beberapa helai daun mulai menguning, musim gugur hampir tiba. Kunamakan saja musim ini musim terang, karena durasi siang masih relatif panjang dibandingkan di wilayah khatulistiwa.

Bulan ini adalah bulan perpisahan. Aku bangun pagi-pagi sekali seperti biasa. Namun ada yang sedikit berbeda, sarapan pagi itu adalah sarapan terakhirku bersama sahabat baruku di sini. Waktunya sudah tiba, dia harus kembali ke tanah air. Pertemuan yang tak lama, 6 bulan saja, namun kuanggap istimewa. Sahabatku Dwenda, yang 5 tahun lebih muda, wanita yang cerdas, ceria dan multitalenta. Semoga suatu hari kami bisa bertemu lagi.

***

Masih ingat hari-hari pertama bulan November tahun lalu? Pertemuan pertamaku dengan seorang wanita muda, cerdas dan baik hati. Ya, dia sahabatku, Moni. Bulan ini pun waktunya kami berpisah. Pagi itu dia tak nampak lagi di kantor, biasanya dia adalah orang pertama yang hadir di kantor kami, tak peduli mau musim apa, di tengah winter yang dingin menusuk sekalipun dia selalu datang paling pagi. Mejanya sudah tampak kosong, hanya tersisa satu dua bundel file.

Di mejaku tergeletak sebuah buku dari Moni, buku disertasinya yang sengaja dia tulis dalam bahasa Inggris. Kubuka halaman pertama, disana terangkai tulisan tangannya:

"Dear Hesty, It's been a pleasure to meet you. I hope you enjoy the rest of your stay here and accustomed with the cold weather in Germany. Ich drücke dir die Daumen für die Promotion! :)"

Ah, Moni, senang rasanya bisa mengenal orang sepertimu. Kubuka lagi beberapa halaman berikutnya. Aku tahu, nanti aku akan merindukanmu. Kau orang pertama yang kukenal di negeri ini. Orang pertama pula yang rela membantuku sejak pagi buta sampai larut malam di minggu-minggu pertama kedatanganku. Pun, kau juga orang pertama yang mengajarkanku banyak hal di laboratorium.

Pagi itu, matahari baru sepenggal galah, sinar hangatnya menyirami bukit-bukit berkabut di selatan kampusku, bukit-bukit hijau tempat petani berladang di musim panas. Sesekali berkerumun domba dan kuda-kuda. Kulihat bulan hampir separuh, malu-malu mengintip dari balik gedung Matematika. Di sebelah barat bergumpal-gumpal awan serupa bulu domba, sisa hujan kemarin petang. Pagi yang istimewa utuk mengenang para sahabat, dan tak terasa hari-hari berlalu begitu cepat. Aku berhenti sejenak memandang lepas ke kejauhan, kuhirup nafas dalam-dalam. Tiba-tiba aku merasa bersyukur telah dipertemukan dengan mereka, sahabat-sahabat yang istimewa.

Bochum, 5 September 2012


Pulang [2]

Hari ini hari raya
Aku ingat riuh orang-orang di pasar dalam
dan gelung-gelung janur hijau muda
Lalu, wangi asap mengepul pelan-pelan

Hari ini hari raya
Aku ingat kue berupa-rupa dalam toples kaca
dan masakan khas hari raya
Lalu, meja dihias berenda-renda

Hari ini hari raya
Aku ingat wangi sarung dan mukenah
dan sandal jepit berdecit-decit di pagi buta
Lalu, kumandang takbir menyemesta

Hari ini hari raya
Kutitip rindu untukku, untuk kita
dan semua kenangan tentang hari raya

Utrecht, 1 Syawal 1433 H/ 19 Agustus 2012


Pulang

Wahai awan
Kusampaikan salam rinduku
Pada serakan sampah di pinggir jalan
Pada debu yang menempel di kaca-kaca

Wahai angin
Kutitipkan salam rinduku
Pada serpihan pasir putih
Pada riuh yang memecah pagi di pasar ikan

Kutinggalkan jauh engkau, sayang
Biar aku belajar mencintaimu
Biar aku tahu getirnya rindu
Biar kutunggu nasib memanggilku
Nanti aku akan pulang

[Untuk Indonesiaku]
Bochum-Groningen
Jumat, 17 Agustus 2012/ 29 Ramadhan 1433 H


"Jika engkau sudah muak, semuak-muaknya dengan negerimu sendiri, cobalah merantau dan tinggallah di negeri orang barang sebentar, niscaya akan engkau temukan kembali rasa cinta dan kerinduan yang amat mendalam pada tanah kelahiranmu."


Dia

Ada bayang-bayang diam menjelma. Sayup-sayup terdengar memanggil-manggil, siapa? Aku pun berhenti sejenak mencoba menerka, oh dia rupanya. Ku sambut dia di ambang pintu, kuusap peluhnya, lalu kutanyakan kabarnya. Kami bercerita hingga senja, dan hujan pun mereda menyisakan gerimis tipis. "Kau mau kemana lagi?" kutanyakan padanya. Dia diam saja, tapi kulihat senyum tersungging di balik payungnya. Gores di punggung tangannya masih sama, dan dia..., aku sendiri yang telah kutunggu sejak lama.

Bochum, 24 Juli 2012


Senja Musim Panas

Rindu, rindu aku pada senja nan lekas berlalu
Rindu, rindu aku pada hujan nan berderai lalu

Lalu, dibisikkannya pada angin
Rangkullah semi ini dalam semilir
Menyemai pada dedaun hijau muda
Bunga-bunga, juga akar-akar perindu

Senja, pada lembayungnya pelukis petang memburu
Memeluk malam, diam, syahdu
Lalu, kerlip gemintang segenap mengharu
Rindu, rindu aku pada senja nan lekas berlalu

Bochum, musim panas, 5 Juli 2012


Monolog Senja

Senja mengantarkan siang ke peraduan
Dahan-dahan memilih diam
Sesekali melambai dibelai angin
Pipit masih asyik menjalin ranting

Sudah, sekali saja, tak usah resah
Nanti kita akan pulang mejemput bintang
yang dulu pernah dijanjikan malam

Di bawah kolong langit senja
Di bibir bukit sebelah tenggara
Di sana nanti kita akan bercerita
Tentang mimpi yang masih menerawang asa
Agar tak tercerabut dari pemiliknya, wahai jiwa

Bochum, 20 Februari 2012  


Mamak, Ibu Juara Satu Seluruh Dunia

Mamak, itu mungkin kata pertama yang bisa kuucapkan. Huruf ‘k’-nya itu tidak penuh, tidak seperti huruf ‘k’ dalam kata ‘banyak’ misalnya. Mamak adalah panggilanku untuk Ibuku, orang yang paling aku cintai. Dulu waktu aku masih kecil, kalau aku minta sesuatu pasti yang kupanggil Mamak, kalau aku sakit aku akan mengadu pada Mamak, kalau aku menangis yang kucari juga Mamak.

Mamakku adalah anak tertua dalam keluarganya. Jadi, dari kecil dia sangat mandiri. Mamak jarang bercerita tentang masa kecilnya, tapi adik-adiknya lah yang bercerita pada kami. Dari cerita-cerita paman-paman dan bibi-bibiku, aku bisa menangkap bahwa adik-adiknya begitu sayang dan bangga pada Beliau. Pernah sekali, Mamak bercerita padaku, “Mamak sangat sayang pada adik-adik Mamak, walau bagaimana pun keadaan mereka”. Mamak ingin agar aku pun menyayangi Abangku, sama seperti Beliau menyayangi adik-adiknya. 

Mamak adalah seorang pekerja keras. Selain bekerja sebagai pegawai negeri, dulu waktu aku masih kecil, sepulang kerja Mamak masih menyempatkan diri untuk berdagang, mulai dari usaha berjualan makanan, toko sembako, membuat kerajinan renda, dan macam-macam usaha lainnya. Kata Mamak, jadi pegawai negeri itu cuma makan gaji yang tidak seberapa, kalau mau lebih ya harus usaha sendiri, jangan korupsi, bahkan menjual harga diri dengan mengemis. Dulu, Mamak dinas di Departemen Perdagangan, lahan ‘basah’ sebenarnya, kalau tak punya malu, banyak yang merendahkan diri dengan mengemis kepada pengusaha atau korupsi dan kolusi disana sini, “Tak tahu malu!”, kata Mamak. Aku simpan baik-baik pesan moral tersebut hingga kini.

Mamak adalah tipe orang yang mengajarkan segala sesuatu dengan contoh tindakan nyata. Kata Mamak kalau hanya dengan mulut, pelajaran hanya sampai di telinga, tak akan meresap dalam alam bawah sadar kita. Kalau mau mempunyai anak yang rajin sedekah, orangtua juga harus rajin sedekah. Hubungan silaturahim dengan saudara dan handai taulan pun begitu juga. Sejak kecil aku memang sering diajak Mamak berkunjung ke rumah kaum kerabat kami, agar tak putus tali silaturahim walau sampai masa yang akan datang. Kalau memberi sesuatu kepada orang lain, jangan pernah diungkit-ungkit, dan berilah selalu bagian terbaik yang kita punya, biar Allah saja yang akan membalasnya.

Mamak bukan tipe orang yang ekspresif untuk mengungkapkan cintanya kepada kami, anak-anaknya. Dulu, waktu aku belum mengerti, aku sering heran, mengapa Ibu dari teman-temanku sering menciumi anak-anaknya, karena seingatku aku tak pernah diperlakukan begitu oleh Beliau. Kalau Mamak mengenangkan kisah yang sebenarnya menggugah rasa, ekspresinya datar saja. Lambat laun, aku pun jadi paham, Mamak bukannya tak sayang padaku kalau dia tidak menciumku ketika aku berangkat sekolah seperti kawan-kawanku dulu. Mamak punya cara sendiri, aku tahu. Mamak tak pernah mengungkapkannya dalam kata-kata, semisal: “Mamak sayang padamu”, atau “Mamak rindu”, tak pernah, meskipun dalam momen-momen perpisahan di keluarga kami. Mungkin aneh bagi sebagian orang, tapi itulah Mamakku.

Sekian lama aku menjadi anaknya, diam-diam aku menjadi lebih sensitif dengan kata-kata Mamak. Dulu, waktu aku tamat SMA dan akan segera merantau ke Bandung untuk persiapan tes masuk perguruan tinggi, Mamak pernah bilang begini: “Coba ya kalau di sini itu ada sekolah yang bagus”, sudah hanya begitu saja kalimatnya. Aku paham, artinya kalau nanti ketika aku sudah merantau dan jauh dari Mamak, beliau pasti akan rindu. Pun, ketika aku akan merantau lebih jauh lagi, Mamak hanya bilang begini: “Sudah, seperti biasa saja lah, kamu pasti bisa”. Mamak juga tak pernah menangis di hadapan kami, sama seperti Mamo, sesedih apa pun itu. Paling hanya aku dan Abangku saja tukang menangis di rumah kami, dan itu pun sangat jarang sekali, kecuali waktu kami masih kecil dulu.

Mungkin, salah satu kebahagiaan menjadi orang tua adalah ketika Allah menganugerahkan lengkap anak laki-laki dan anak perempuan dalam sebuah keluarga. Kami hanya dua bersaudara, dan aku anak perempuan satu-satunya. Belasan tahun kemudian, ketika aku sudah dewasa, aku sering diliputi perasaan bersalah. Tak terbayang kecewanya Mamak ketika aku dulu tak pernah ingin memakai pakaian-pakaian yang beliau belikan, pakaian-pakaian cantik untuk anak perempuan. Aku juga tak pernah mau beliau dandani. Nasib pakaian-pakaian itu selalu berakhir di lemari sepupu-sepupu atau tetangga kami, ketika sampai tak cukup lagi untuk kupakai dan tak pernah sekali pun aku memakainya. Tapi, Mamak tak pernah menyerah, pakaian-pakaian itu selalu Beliau beli dengan harapan yang selalu sama, bertahun-tahun sampai aku tak ingat lagi berapa jumlahnya dan Mamak tak pernah mengeluh padaku. Maafkan aku, Mak.

Mamak punya cita-cita yang sederhana dan tidak muluk-muluk. Mamak tak pernah menyuruh kami untuk jadi ini itu. Kata Mamak, jadilah orang yang bermanfaat, dan kalau sudah memilih, harus bertanggung jawab dengan pilihan tersebut. Mungkin Mamak pernah berkeinginan seperti kawan-kawannya, punya anak perempuan yang merantau untuk sekolah, lalu pulang, mencari pekerjaan di sana, berkeluarga dan beberapa tahun kemudian menghadiahi masa tuanya dengan cucu-cucu yang lucu. Maafkan aku Mak, anakmu ini pemimpi gila, sampai sekarang pun masih kesana kemari tak tentu arah. Mamak hanya bilang begini: “Sudah, semua orang punya bagiannya masing-masing, kalau tak ada orang sepertimu, mungkin tak ada yang mau menjadi menteri dan mengurus macam-macam untuk negara kita ini”. Aku hanya diam, tak bisa berkata-kata lagi.

Mamak kini tak lagi muda. Sejak aku merantau, aku menjadi jarang bertemu Beliau. Pernah suatu sore ketika aku pulang, aku duduk-duduk berdua dengan Mamak. Mamak minta tolong dicarikan uban, aku diam dan ingin rasanya menangis, betapa sudah sangat jarang aku memperhatikan Beliau, tak terasa rambut Mamak sudah mulai memutih. Helai-helainya itu pasti tahu bagaimana perjuangan Mamak agar aku bisa sekolah, ironisnya agar aku bisa meninggalkannya, egois sekali, bukan?

Mamak, aku tahu pasti, ada cinta dalam setiap peluhmu, ada cinta dalam setiap marahmu, ada cinta dalam setiap diammu, ada cinta dalam setiap doamu. Dalam dinginnya sepertiga malam, selalu kau mohonkan doa terbaik untuk kami. Dalam diammu, sesungguhnya kau telah mengajarkanku agar tak pernah kalah dengan rasa rindu kepadamu. Karena sejauh apa pun aku berjalan, doamu akan selalu mengiringiku. Aku malu, belum bisa menjadi apa-apa untukmu, Mak. Kerjaku hanya bisa menyusahkanmu, dari dulu bahkan sejak aku masih dalam kandunganmu. Tak terhitung dosa yang sudah kuperbuat kepadamu, jangankan untuk menebusnya, untuk membalas jasamu pun aku tak akan pernah bisa, tak pernah, sampai mati pun. Ya Allah sayangilah Mamakku, berkahilah selalu usianya, berikanlah Beliau kesehatan, dan berikanlah kebahagiaan padanya di dunia dan akhirat-Mu kelak.

Di sini, matahari baru tenggelam, langit masih mendung, tapi aku tahu di atas sana pasti ada bintang. Kiranya, kerlipnya sampai ke rumah kami, 7000 mil dari tempatku berada saat ini. Sampaikan salam rinduku untuk Mamakku, walaupun beliau pasti sudah terlelap. Biarkan malam menghapus lelahmu, Mak.

Bochum, 18 Februari 2012.

Tulisan lain tentang Ayah dan Abang, 3 orang inilah, manusia-manusia terbaik dalam hidupku:


http://maktjik.blogspot.de/2012/11/mamo-ayah-juara-satu-seluruh-dunia.htmlhttp://maktjik.blogspot.de/2012/12/abangku-abang-juara-satu-seluruh-dunia.html

Kawan-Kawan Baru

Sebagian besar waktuku dalam tiga bulan pertama ini kujalani dengan membaca, membaca berulang-ulang, lembar demi lembar buku dan paper, lalu merangkum intisarinya untuk didiskusikan dengan pembimbingku. Usaha belajarku harus lebih keras dari sebelumnya, karena bidang yang harus kupelajari sekarang berbeda dengan latar belakang yang pernah kukerjakan dulu.

Kawan-kawan baruku harus kubaca sambil minum kopi, sambil menggigil kedinginan, sambil menunggu antrian, sambil melamun, sambil makan siang, sambil chatting, sambil diam, kadang-kadang sambil tersenyum, sambil memasak bahkan sambil tertidur. Aku membaca di kantor, di kereta, di kantin, di kamar, atau di dapur. Tapi kalau akhir pekan tiba, aku tak akan menyentuh selembar pun anything related to my research. Akhir pekan adalah waktunya istirahat, belanja kebutuhan pokok, atau menghabiskan waktu bersama keluarga dan para sahabat.

Rasanya aku akan mati bosan kalau tak pandai-pandai menyeling rutinitas monoton seperti ini. Sabar saja lah, aku sudah memilih, janjiku dalam tekad yang akan terus kugenggam erat-erat, bismillah! Seorang temanku pernah menulis: The most basic question every Ph.D. student must know the answer to is: "Why the hell am I doing this?" Hehe :D Semuanya membutuhkan proses, tak ada proses yang terus menerus berjalan mulus, begitu pun sebaliknya.

Cerita yang menungguku akan semakin seru, ku harap begitu. Ketika mesin-mesin mulai menderu, ketika program-program mulai “berlari”, akan tiba pula masa-masa dimana aku harus menulis, berkicau dalam forum-forum, atau sekedar begadang dalam malam-malam panjang ketika deadline-deadline menunggu untuk diselesaikan.

Aku ingin mengenal berupa-rupa manusia dari seluruh dunia, tapi kakiku baru mampu melangkah sampai di sini dulu. Ingin sekali aku menjelajah sampai ke negeri-negeri yang jauh, menjangkau sampai jantung budayanya. Biarlah mimpi itu kusimpan dulu, sembari memetik beragam pengalaman yang bisa kutemui di sini. Di sini tidak ada mata kuliah yang harus kuikuti, tugas utamaku adalah riset. Aku rindu duduk di dalam kelas, mendengarkan kuliah dengan penuh semangat atau sampai tertidur kala ngantuk mendera. Sudah lama rupanya, hampir 2 tahun yang lalu adalah kala terakhir aku duduk di atas bangku-bangku kayu, dalam kelas-kelas berjendela kaca.

Mimpiku untuk mengenal berupa-rupa manusia itu setidaknya sedikit terwujud di kelas baruku, kursus bahasa Jerman. 28 orang teman baru dari seluruh dunia, dengan ciri khas masing-masing. Raut muka, warna kulit, warna rambut, nama-nama yang khas, mereka mewakili berbagai ras dan budaya. Betapa aku langsung jatuh cinta berada di tengah-tengah pusaran budaya seperti ini, mengenal berbagai bahasa dari penutur aslinya. Kawan-kawan baruku berasal dari China, Korea, Pakistan, Nepal, Iran, Israel, Maroko, Elfenbeinküste (Pantai Gading), Turki, Perancis, Cyprus, Moldavia, Bulgaria, Rusia, Ukraina, Yunani, Spanyol, Mexico, Brazil dan Chile. Kadang-kadang kami harus menggunakan bahasa isyarat karena beberapa di antara kawanku tidak bisa berbahasa Inggris.

Aku bisa melihat begitu eratnya beberapa budaya berbeda diikat dengan bahasa yang sama. Di sisi lain, aku tak melihat adanya jarak yang memisahkan beberapa kawanku yang berasal dari negara-negara yang sebenarnya pernah atau bahkan masih berselisih. Dalam derai salju tipis pekan ini, di sini aku menemukan kedamaian dalam bentuk berbeda yang belum pernah kulihat sebelumnya, indah sekali, Kawan.

Bochum, 12 Februari 2012


Pagi Jingga

Hari masih teramat muda, pagi jingga
Ombak ingin memecah temaram bulan, menderu
Fajar, urung sudah...

Angin tiupkan wangi bunga
Kemuning serbuk akasia
Hembusnya hilang
Diam dalam bayang, gemuruh samudera...

Wangi pagi Januari
Ada elang dibawa angin
Mengejar perahu dari bibir muara, jembatan jingga...

Tungguku
Menemukanmu dalam hilang, dahulu...

 Zürich, 1 Januari  2012

Secangkir Kopi

Mendung mega di semburat mentari pagi
Kabut tipis masih mengawang
Merpati terbang labuh berebut remah-remah roti
Gerimis dalam angin beku, putih
Dalam gores-gores pena dari balik jendela
Inginku bercerita
Masih ingatkah engkau wangi kopi dalam cangkir motif bunga?

Zug, Switzerland, penghujung 2011


Harum Hujan Bulan November

Bandung sudah masuk musim penghujan. Musim ketika rintik-rintik air berjatuhan dari langit, satu per satu saling berkejaran. Ada lukisan keindahan di setiap goresnya, di pucuk-pucuk pepohonan, atap-atap bangunan, dan derai curahnya yang terbawa angin.

Jendela kaca di ruanganku kubiarkan terbuka lebar. Biar harum bau hujan bisa kuhirup dalam-dalam, biar angin dinginnya menusuk hingga ke tulang. Tak ada minuman hangat dan hingar bingar kendaraan. Yang ada hanya suara hujan dan sayup-sayup senandung tilawah Al Qur'an.

Sore ini adalah sore terindahku di kampus ini. Kampus yang telah menumpahkan warna-warninya dalam jiwaku. Rasanya baru kemarin, ketika dengan malu-malu aku berkenalan dengan kawan-kawan baru. Ketika lidah-lidah kami masih bau "kampung halaman". Sudah 7 tahun ternyata, dan waktu berlalu begitu cepat.

Di sini aku pernah bangga, pernah benci, pernah jenuh, pernah gembira, tapi pada detik ini aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta. Jatuh cinta pada setiap proses yang kujalani sampai hari ini. Cinta dari keluarga, saudara, para guru dan kawan-kawanku tak pernah bisa kubalas sampai mati. Kepada harum hujan bulan November, kutitipkan maaf dan terima kasihku untuk mereka, mereka yang telah membuatku menjadi aku.

Bandung 3 November 2011


Mamo, Ayah Juara Satu Seluruh Dunia


Mamo, panggilan Ayah yang ”terpeleset” dari kata Ramo, dari mulut kecilku dan Abangku. Sejak aku bisa mengingat, Beliau adalah laki-laki pertama yang kukenal dalam hidupku. Hadiah pertama yang kuterima dari Ayahku adalah namaku ini, yang akan kubawa sampai mati.

Beliau pasti laki-laki yang merasa paling bahagia ketika kami, anak-anaknya, lahir ke dunia ini. Dulu waktu aku masih kecil, aku paling senang kalau Mamo menggendongku. Rasanya, cintanya hanya untukku saja. Tangan kecilku akan menjangkau dan menunjuk ke sana kemari atau meraba-raba wajahnya yang kasar karena belum bercukur. Mamo mengajariku untuk mencintainya dengan sederhana.

Sepeda motor pertama yang dimilikinya adalah Yamaha PX-80 warna merah, bukan baru. Selanjutnya sepeda motor Mamo berganti-ganti dan selalu bukan baru. Satu-satunya sepeda motor baru yang dimiliki Mamo adalah sepeda motor yang dipakainya sampai sekarang. Itu pun dibeli ketika Mamo baru saja pensiun, ketika aku lulus SMA. Mengapa? Karena memang itulah adanya yang beliau bisa. Mamo pegawai negeri yang jujur, hanya makan gaji, itu saja. Gaji yang diaturnya setiap bulan dengan sangat hati-hati untuk menafkahi keluarganya, untuk menyekolahkan anak-anaknya. Dari laki-laki pendiam ini aku belajar tentang kejujuran dan kesederhanaan.

Dulu waktu aku masih SD, SMP dan SMA aku beberapa kali mogok tak mau sekolah, ingin minta pindah. Mamo kerepotan ke sana kemari mengurus kepindahan sekolahku. Tetapi tak sekali pun kudengar keluhnya. Mamo mengajariku tentang jiwa besar, Beliau ingin aku sekolah di tempat terbaik dan paling membuatku betah. Beliau tak pernah menuntut apa pun dari anak-anaknya.

Ketika pertama kali aku bisa naik sepeda, aku merengek minta dibelikan sepeda baru. Mamo hanya memberiku sepeda bekas, phoenix warna merah, yang terus kuprotes karena cat-nya sudah jelek. Di kemudian hari aku mengerti mengapa Mamo baru membelikanku sepeda baru beberapa bulan setelahnya. Karena di bulan-bulan pertama aku masih sering jatuh, Mamo tak ingin aku lebih kecewa kalau sepeda baruku rusak karena belum bisa kukendarai dengan baik. Dari laki-laki disiplin ini aku belajar tentang kesabaran.

Dulu aku sering diajak Mamo ke rumah paman sepulang dari klinik gigi. Klinik yang paling kubenci ketika pertama kali gigiku dicabut. Namun setelahnya aku yang meminta sendiri untuk diantar ke sana. Mengapa? Karena Mamo tak pernah bohong, “tidak sakit! Percayalah!” Pulangnya aku akan bertemu paman, mendengarkan obrolan mereka berdua tentang kakek. Mamo mengajarkanku tentang indahnya silaturahim. 

Waktu aku masih kecil, Mamo jarang marah kalau aku nakal, tapi Beliau paling marah kalau aku dan Abang bertengkar. Mamo mengajariku bagaimana mencintai saudaraku satu-satunya, Abang yang akan kubanggakan sampai mati. Mamo tak pernah menangis di depan kami, sesedih apa pun, sesakit apa pun, sesusah apa pun, tak pernah sekali pun kulihat Mamo menangis. Mamo mengajarkanku tentang ketegaran agar aku tak cengeng menjalani hidup ini.

Cinta Ayahku tak pernah habis-habis untuk kami. Aku tak bisa memilih siapa yang menjadi Ayahku. Tapi sekali pun aku tak pernah menyesal telah menjadi anaknya. Mamo adalah Ayah yang kucintai seumur hidupku. Sampai kapan pun aku tak akan pernah bisa membalas jasanya. Dalam hatiku tertulis sejuta kenangan tentang Ayahku, salam rinduku untuknya, harum kasih sayangnya kan ku bawa sampai mati.

Bandung, 18 Oktober 2011
Photo illustration by Ponda Sujadi

Tulisan lain tentang Ibu dan Abang, 3 orang inilah, manusia-manusia terbaik dalam hidupku:
http://maktjik.blogspot.de/2012/11/mamak-ibu-juara-satu-seluruh-dunia.html
http://maktjik.blogspot.de/2012/12/abangku-abang-juara-satu-seluruh-dunia.html

Kisah Burung Pipit

Dan kisah itu telah kusampaikan pada rintik hujan kemarin petang
Hembus angin membawanya jauh ke ketinggian
Lalu senja menyambutnya pulang
Kisah itu pun damai dipeluk malam
Bersama bintang dan pesolek malam, Rembulan

Fajar akan menantinya esok pagi
Di ujung cakrawala sebelah timur sana
Rindunya akan kelana
Mungkin angin kemarin akan menyapanya
Tapi pada langit saja dia akan berkata
Teriaknya membahana
Aku rindu!

Pipit di pucuk pokok sana hanya tersenyum
Temanku ingin kutunjukan padamu, katanya
dari atas sini, dunia akan terlihat indah
tapi hanya jika kau melihat dia, cinta
Biarkan dia terbawa angin
Jauh sampai ke muara

Bandung 13 Agustus 2011
Photo illustration by Ponda Sujadi

Wahai Keumala

Indah nian namamu wahai Keumala. Kita belum pernah bertemu, namun sudah lama sosokmu berada dalam benakku. Keumalahayati, namamu kuambil dari nama Laksamana perempuan tangguh tanah Aceh, pun belum pernah kuinjakkan kakiku di sana. Tanah para raja yang sedari dulu ingin aku mengunjunginya. Hanya lukisan jaman baheula, dalam ruang temaram Museum Bahari di Jakarta Utara, aku pernah bertemu dengan Keumalahayati yang pernah ada. Itu pun bukan dirimu wahai Keumala.

Lahir ke dunia, atau tepatnya lahir dalam benakku, kau jangan malu. Tangis kerasmu akan membahagiakan orang-orang yang mungkin menjadi orangtuamu nanti. Waktunya entah kapan, aku pun tak pernah tahu. Dalam hari-harimu bermula, sederhana saja kau pandang dunia ini. Kau baru tahu hitam putih, nikmati saja. Mungkin membosankan, tapi percayalah kelak ‘kan tiba waktunya, saat-saat dimana kau akan merindukan dua macam warna itu. Jadi, resapi saja keindahannya. Nanti, warna-warni dunia kau lukislah bersama sahabat-sahabatmu.

Jangan pernah kau ragu melangkah untuk mencari dan menyebarkan kebaikan. Jangan pernah kau malu merajut mimpi-mimpimu, karena dia akan menjadi obor semangatmu. Jangan menyerah dalam jalan cita-citamu. Sekuat usaha dan doamu, akan kau petik manisnya nanti. Walau tak berbuah sekali pun, akan kau rasakan nikmatnya peluhmu. Dalam langkah-langkah bersemangat, bahkan berlari, tak mengapa sesekali kau berhenti sejenak, tapi jangan pernah kau khianati tujuan akhirmu. Hargai setiap jerih payahmu dengan kenikmatan syukur.

Aku tahu kau tangguh, tajam kerikil di tepi jalan akan mengasahmu. Jangan cengeng, karena dunia ini sombong dan tak peduli. Tak ada waktu untuk berkeluh kesah karena kau tahu kepada siapa kau harus mengadu. Nanti akan kau temui berupa-rupa manusia, jangan menjadi takut dan pengecut. Kau akan banyak belajar dari setiap pertemuanmu. Kau akan tahu, pertemuan dengan orang paling jahat sekali pun, tak ‘kan pernah tersia-sia.

Apa-apa yang hanya bisa yang kau rasakan dengan hati, kadang indah, kadang tidak. Mereka akan datang silih berganti, sedih akan bersahabat dengan senang, walau tak kau suruh. Meski kita belum pernah bertemu, namun suatu saat, ingin sekali ku katakan padamu. Ada keindahan yang belum pernah kutemukan tandingannya di dunia ini. Keindahan yang hanya bisa kau rasakan dengan hati. Bila nanti kau rasakan sendiri, kau akan tahu, bahwa aku tak berdusta padamu, wahai Keumala. Hmm, hampir saja aku lupa, nanti kalau kita bertemu, akan kupanggil engkau "Aya".

Bandung, 22 Februari 2011

Payung Rindu di bawah Rintik Hujan Sore ini

Beberapa hari ini cuaca Kota Bandung tidak menentu. Siang tadi, matahari bersinar terik sekali, sambil sesekali mendung dan berawan. Tiba-tiba, sore tadi, langit berubah menjadi gelap. Awan hitam terlihat bergumpal-gumpal di kejauhan. Angin berhembus kencang, hawa dingin merasuk hingga ke tulang.

Hampir pukul 6 sore, perutku sudah sangat lapar. Rintik-rintik hujan pertama mulai turun, padahal aku baru seperempat perjalanan pulang. Hari ini, tiba-tiba saja aku memilih jalur angkutan umum berbeda dari biasanya. Aku rindu suasana Gedung Sate sore hari, juga pucuk-pucuk mahoni yang baru bersemi di sepanjang Jalan Diponegoro.

Perjalananku singkat saja. Aku turun di pertigaan Jalan Supratman, tepat di depan Asrama Mahasiswa Gunong Tajam, asrama mahasiswa Belitong, persinggahanku ketika pertama kali ke Bandung, hampir 7 tahun yang lalu. Hari makin gelap dan hujan masih lebat, air tergenang dimana-dimana.

Di sudut jalan, aku menemukan pedagang batagor yang menjajakan dagangannya di mobil bak terbuka. Lumayan untuk mengganjal perut laparku malam ini. Aku bertemu seorang ibu yang kelihatannya baru pulang kerja. Beliau membeli batagor dalam porsi besar, mungkin untuk dihidangkan bersama keluarganya. Kelihatannya beliau tidak membawa payung. "Nak, mau pulang kemana? Boleh Ibu ikut sampai Surapati? Nanti Ibu mau naik angkot pink dari situ". "Oh, tentu saja boleh Bu", jawabku spontan.

Kami melewati Jalan Pusdai yang tergenang, sambil sesekali berhenti untuk menghindari cipratan air dari kendaraan yang lewat. Di bawah naungan payung kecil itu, obrolan kami mengalir. Ibu Maya, begitu beliau mengenalkan diri kepadaku. Beliau bekerja di Citarum, tak jauh dari Pusdai, dan bertempat tinggal di Ujung Berung. Anak sulungnya sudah bekerja, dulu kuliah di Farmasi Unpad. Anak bungsunya baru tamat dari jurusan Perhotelan, juga sudah bekerja dan berniat melanjutkan kuliah lagi.Tersirat rasa bangga di wajah beliau, padahal aku tahu beliau sedang lelah setelah seharian bekerja.

Aku pun mengenalkan diriku. Beliau antusias sekali ketika tahu bahwa aku hidup terpisah jauh dari keluarga, hidup sendiri di Kota Bandung, dan masih memimpikan banyak hal. "Ibu doakan Nak Hesty sukses dan tercapai cita-citanya. Orangtua seperti Ibu tidak akan mewariskan apa-apa, selain ilmu yang bermanfaat. Karena warisan harta betapapun banyaknya, akan habis." Kuaminkan doa dari Bu Maya, dan kudoakan pula Beliau selalu sehat dan dikaruniai usia yang berkah.

Kami berpisah di tepi jalan Surapati, dalam rintik hujan yang mulai reda. Pesan Bu Maya adalah pesan yang sama seperti yang disampaikan Ibuku dulu ketika aku akan merantau ke Bandung. Aku menjadi rindu, rindu sekali kepada Ibuku. Kiranya hujan sore ini mampu mengantarkan rinduku kepada Beliau, jauh sampai ke kampung halamanku. Kupeluk erat tasku yang basah. Dalam dingin dan mendung, hatiku tiba-tiba menjadi hangat, sehangat kasih sayang Ibuku.

Bandung, 17 Februari 2011

Sepenggal Perjalanan

Surapati-Panatayudha-Dipati Ukur-Sumur Bandung-Taman Sari. Itulah sepenggal jalur angkutan umum Cicaheum-Ciroyom yang kulewati hampir 7 tahun terakhir ini. Banyak cerita, dalam perjalanan singkat sekitar 30 menit itu. Kalau aku berangkat agak pagi, teman seperjalananku rata-rata anak-anak berseragam sekolah. Mereka biasanya terlihat lebih ceria di awal-awal semester. Seragam, sepatu atau peralatan sekolah mereka terlihat lebih bersih atau bahkan baru.

Kalau agak siang sedikit, teman seperjalananku adalah ibu-ibu atau pembantu rumah tangga yang baru pulang belanja dari pasar Cihaurgeulis (Pasar Suci), yang lain biasanya mahasiswa atau karyawan. Ibu-ibu ini membawa banyak belanjaan, sedikit tenang kalau hanya sendiri. Tetapi kalau berteman, obrolan mereka lumayan “hidup”. Kalau mahasiswa biasanya tak banyak bicara, di awal bulan terlihat lebih “sehat”, di akhir semester terlihat lebih “kusut”. Kalau Bandung sedang musim hujan dan dingin sekali, beberapa dari mereka kelihatan sekali sengaja tidak mandi sebelum ke kampus. Kalau musim ujian tiba, mereka mendadak berseragam putih-hitam, karena rata-rata mereka mahasiswa Unpad Kampus Dipati Ukur atau Unikom yang menerapkan aturan seperti itu.

Sopir angkutan umum ini rata-rata orang rantau dari Sumatera Utara. Awalnya aku belum terbiasa dengan style mereka, yang mungkin untuk sebagian orang agak kurang nyaman dengan gaya mengemudi yang “njut2an” atau gaya bicara mereka yang terkesan agak kasar bagi telinga orang Sunda. Tapi lama-lama, mereka jadi “teman baik”-ku selama hampir 7 tahun terakhir ini.

Perjalananku hampir setiap pagi akan melewati 2 lampu merah, yang pertama di perempatan Gasibu, salah satu perempatan paling ramai di Bandung. Di sini ada 2 atau 3 pedagang asongan dan sekitar 6 atau 7 pengamen. Salah satu dari mereka bertubuh gempal, lagu favoritnya: “Slank-SBY (Sosial Betawi Yoi)”. Yang lain biasanya berkolaborasi, satu penyanyi, satu pemain biola, satu pemetik gitar, dan satu penabuh gendang. Biasanya mereka membawakan lagu-lagu Iwan Fals, atau lagu-lagu karangan mereka sendiri, tapi gaya liriknya masih itu-itu juga: memaki-maki pemerintah.

Penumpang angkot biasanya turun di Panatayudha, karena disitu ada SMP dan SMA PGII dan rumah-rumah yang umumnya ber-pembantu rumah tangga. Sebagian akan turun di kampus-kampus sepanjang jalur ini. Di sekitar monument PRJB (Perjuangan Rakyat Jawa Barat), tepat di depan Kampus Iwa Kusumasumantri Unpad Dipati Ukur, biasanya pak sopir akan berhenti agak lama. Karena di kawasan ini lah, sebagian mahasiswa Unikom dan ITB bertempat tinggal. Tiga kali dalam setahun, aku akan bertemu para penjual bunga di sekitar kawasan ini, karena tiga kali pula Rektor Unpad akan mewisuda mahasiswanya. Senang sekali melihat wajah-wajah berbinar dari para wisudawan dan keluarganya. Dulu waktu aku belum diwisuda, secara tidak langsung mereka telah menjadi motivator-motivator ulung bagiku. Kalau sekarang, acara semacam ini menjadi seperti nostalgia saja. Masih seperti dahulu, kesannya tetap menyenangkan bagiku.

Pak Sopir akan kembali berhenti di pertigaan Sekeloa, menunggu mahasiswa-mahasiswa FKG Unpad yang akan ke Rumah Sakit Hasan Sadikin. Mereka rata-rata berpenampilan rapi, lebih rapi dari mahasiswa pada umumnya. Mereka ini calon dokter gigi. Di sepanjang jalan Dipati Ukur ini, terdapat 4 pool travel Jakarta-Bandung PP. Usaha travel Bandung-Jakarta mulai ramai sejak tol Cipularang selesai dibangun sekitar April 2005, menjelang 50 tahun Peringatan Konferensi Asia Afrika di Bandung.

Lampu merah kedua yang kulewati adalah perempatan McD Dago. Restoran fast food asal Amerika ini buka 24 jam. Di seberangnya ada minimarket Circle K yang buka 24 jam pula, lalu di sampingnya teronggok warung kecil pinggir jalan tempat berkumpul para pengamen dan pedagang asongan. Mereka punya seorang bos, kepala preman atau apalah nama yang paling tepat. Yang jelas, pak bos ini terlihat sangat disegani. Setiap sopir akan menyetorkan iuran wajib kepadanya, tapi setiap pagi pula, mereka diberi jatah sarapan 1 kue basah, biasanya donat, risoles atau pastel.

Pengamen di sini relatif lebih terampil, kadang-kadang ada 2 orang anak kecil bersuara emas yang akan menyanyi diiringi lantunan biola. Ada pengamen yang senang sekali membawakan lagu-lagu jaman lawas, suaranya serak-serak basah. Seorang lagi selalu membawakan lagu cinta, belum pernah aku mendengar dia membawakan lagu bertema lain, kalau cuaca sedang cerah biasanya tentang orang yang sedang jatuh cinta, kalau musim hujan dan mendung, biasanya tentang orang yang dikhianati cinta. Sekarang gitarnya makin usang, maka sesekali dia akan memetik ukulele.

Di perempatan ini juga ada seorang juru parkir berseragam oranye dan selalu bertopi, pria setengah baya ini menyambi menjadi pedagang koran. Kalau dia tak berseragam parkir, wajahnya lebih mirip direktur perusahaan multinasional. Kadang kalau angkot yang ngetem di sini dinaiki banyak penumpang, si bapak akan mendapat bagian sepeser dua peser dari pak sopir.

Jalur terakhir yang kulewati sebelum turun adalah jalan Sumur Bandung. Jalannya tidak panjang, mungkin hanya sekitar 100 meter. Sekitar 2008 sampai pertengahan 2010 jalan ini berlubang-lubang, jelek sekali, sampai-sampai ada yang memasang bendera penanda seperti di track rally off road, sebagai sindiran bagi Pemda Bandung. Kalau musim hujan, air tergenang sampai mata kaki. Akhir 2010 jalan ini dan ujung jalan Siliwangi akhirnya diperbaiki dan dicor lebih tinggi. Ternyata salah satu rumah di ujung jalan Sumur Bandung ini adalah rumah Prof. Dr. Oei Ban Liang, sang perintis bioteknologi Indonesia. Rumah sederhana bergaya arsitektur kuno ini halamannya rindang dan pagarnya berwarna hijau teduh. Prof. Oei adalah Guru besar Kimia ITB, beliau meninggal pada bulan November 2010 yang lalu.

Di pertigaan Sumur Bandung-Tamansari, aku akan turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Begitu turun, aku akan “disapa” pengemis tua berbaju hitam dan selalu memakai kopiah. Biasanya bergantian dengan rekannya yang juga berpenampilan serupa. Lalu, aku akan bertemu dengan seorang pengemis buta, anak perempuan berusia sekitar 13 tahun, selalu mengenakan kerudung dan sering berteriak-teriak atau berbicara sendiri. Biasanya dia ditemani seekor anjing berwarna putih dengan sedikit corak hitam.

Teman perjalananku yang terakhir adalah pohon-pohon mahoni. Kalau musim kemarau tiba, daun-daunnya akan berguguran dan berserakan di pinggir jalan, indah sekali. Apalagi kalau angin bertiup agak kencang, seperti musim gugur saja. Kalau hujan pertama sudah turun, daun-daun mudanya akan bersemi, mula-mula agak merah, lama-lama kelamaan berubah menjadi hijau muda, hijau tua, dan akhirnya kembali gugur. Begitu terus menerus, sampai akhirnya meranggas dan benar-benar tak berdaun lagi. Sebuah siklus yang teratur, seteratur langkahku setiap pagi, langkah-langkah kecilku meraih mimpi.

Bandung, 3 Februari 2011

Sahabat

Aku ingin sedikit bercerita tentang persahabatanku yang sederhana. Aku bukanlah seorang yang bisa menghargai sahabat seperti layaknya orang lain. Yang akan selalu mengucapkan selamat di hari ulang tahunnya, yang akan selalu teringat padanya di saat susah maupun senang. Tapi bukan pula orang yang hanya akan datang padanya di saat-saat terpuruk.

Mengenalnya sekian lama, aku jadi tahu arti seorang sahabat yang kudefinisikan sendiri. Dia belum tentu ada saat kau susah atau senang. Dia akan ada di saat yang memang tepat. Ada kalanya kami tak saling mengetahui kabar masing-masing. Biarkan saja sesederhana itu, dan hal inilah yang akan membuat persahabatan kami bertahan sekian lama.

Kami telah melewati sekian banyak momen-momen berharga, bersama ataupun tidak, tak masalah. Sekian banyak pergolakan menuju pendewasaan, sekian banyak hal-hal yang tak akan tersia-sia. Yang akan selalu jadi bekalku di masa mendatang. Tanpa sadar, sahabatku ini adalah orang yang selalu membuatku semangat meraih mimpi-mimpiku, sekaligus mengajarkanku tentang kesederhanaan, ketulusan, dan keindahan hidup. 

Persahabatan kami mengalir begitu saja, tanpa ada embel-embel apa-apa. Aku menyukai persahabatan yang seperti itu. Seperti persahabatan anak-anak yang sederhana. Tak ada sesi curhat sampai tersedu sedan, tak ada pertengkaran, dan tak ada yang spesial. Namun karena kesederhanaan itulah, kami bisa menjadi layaknya saudara.

Aku telah bertemu dengan banyak orang, dan aku yakin bahwa kedekatan dengan seseorang itu bukannlah sesuatu yang dapat dipaksakan. Bukanlah terbangun dengan lamanya saling mengenal, kecocokan dalam berbagai hal atau apapun. Kedekatan itu adalah kecenderungan jiwa, itu saja. Ibuku pernah berpesan, sahabat yang tulus itu harus kau hargai layaknya saudara.

Bandung, 1 Desember 2010

Ibu

Walau kau tak bicara, tapi kutahu. Biar kau tersenyum, tapi kutahu. Bahkan, meski kau berbicara tak henti, aku pun tahu. Dimana kau simpan air mata itu? Dimana kau simpan rasa sayang itu? Aku tahu pasti. Katamu, sudah lama sekali kau latih perasaanmu itu. Mungkin sejak aku terlahir ke dunia ini. Tak pernah kulihat engkau menangis di depanku.

Tak pernah, walau sekalipun. Padahal, bila kuingat-ingat, tak kan pernah terhitung rasanya. Betapa banyak tingkah lakuku yang bisa melukai perasaannya. Ibu, di sini aku ingin memelukmu, sekali saja. Tak kan kulepas lagi. Walau langkah ini jauh, walau wajah ini berusaha selalu tegar, hanya engkau yang tahu, betapa jiwa ini rapuh.

Kau ikhlas dengan segenap jiwamu. Pintamu tak putus dalam malam-malam panjangmu mendoakanku. Ibu, bila tangan ini mampu, ku ingin menghapus tangismu yang tak berair mata itu. Bila pundak ini mampu, ku ingin memanggul beban di pundakmu yang semakin ringkih itu. Ku ingin hanya senyum yang paling dalam sampai ke lubuk hatimu. Ya Allah sayangi ibuku, sayangi ibuku..

Bandung, 13 Juli 2010

Alhamdulillah

Sampai detik ini, rasa syukur seharusnya tak berhenti kuhaturkan kehadirat Allah, alhamdulillah atas nikmat iman dan Islam, nikmat sehat, nikmat keluarga dan para sahabat, dan nikmat-nikmat lainnya yang tak mungkin kuhitung satu persatu. Malu rasanya diri ini, belum bisa memberikan manfaat apa-apa. Sampai detik ini, berapa banyak orang yang telah kurepotkan, berapa banyak orang yang telah kubuat kecewa, berapa banyak pula yang telah berbuat dosa oleh karena sebabku. Ya Allah, aku mohon ampun atas segala khilaf dan kelemahan diri ini.

Rasa terimakasih untuk keluarga dan sahabat-sahabatku. Atas izin Allah dan oleh sebab kalian, aku bisa mengakhiri semester ini dengan baik. Kamis pagi kemarin hari terakhir itu, hari terakhir untuk penelitian tesisku. Namun, bukan hari terakhir untuk terus belajar hingga akhir hayat. Mohon maaf atas segala khilaf. Semoga sisa usia kalian senantiasa dilimpahkan kebaikan oleh Allah.

Bandung, 6 Maret 2010
*alhamdulillah hari ini Allah masih mempertemukanku dengan sahabat-sahabat lama.


Ayah

Sejak kecil aku mengagumimu wahai ayahku. Engkau pendengar paling setia untuk setiap keluh kesah dan rasa ingin tahuku. Ini apa, itu apa? ini kenapa, itu kenapa? kalau begini bagaimana? Dulu PR matematika-ku, engkaulah orang pertama yang akan menilainya sebelum guruku. Sejak kecil, engkau mengajakku berdiskusi tentang banyak hal. Entah itu fisika, matematika, sejarah, geografi, bahasa, biologi, psikologi, atau apapun yang aku ingin ketahui. Luas sekali, seluas mata kecilku memandang cakrawala di pesisir pantai.

Diskusi malam tadi panjang sekali. Memanggil semua kenangan masa lalu kami. Dulu aku sebagai penanya, ayahku penjawab dan pendengar setia. Sejak aku mulai kuliah, diskusi berubah jadi 2 arah, lebih hidup. Aku berbagi ilmu yang kudapat di kampus atau sumber lainnya. "Tunggu sebentar, ayah kurang mengerti, sedikit rumit, hmm..". Ayah selalu berusaha untuk memahami topik yang kuajukan. Paling kalau sudah tak "termakan" lagi, Ayah akan berkata : "alhamdulillah, subhanallah engkau bisa memahaminya Nak, semoga bermanfaat ilmumu". Sampai sekarang, pengetahuan sejarah ayah yang belum pernah terlampaui olehku. Kaya sekali, seperti komik saja epik-epik sejarah yang pernah Ayah ceritakan.

Semoga Rahmat ALLAH senantiasa tercurah untukmu wahai ayahku. Lain waktu jika kita bertemu, aku berjanji akan selalu menjadi anak yang lebih baik lagi. Sampai tiba waktunya aku tak menjadi milikmu lagi atau salah satu dari kita dipanggil olehNya. Aku tak ingin melupakan setiap detik waktu yang pernah kita lalui.

Bandung, 1 Maret 2010.
Di malam-malam menjelang sidang, dalam cuaca yang makin "unpredictable" kata ayah, hmm..

Disini dulu aku dan ayah biasa menghabiskan sore. Menunggu adzan memanggil, mengantar mentari ke peraduannya sampai bibir cakrawala..

Bus Reyot pun Punya Cerita

Bus yang kutumpangi penuh sesak. Penumpangnya rata-rata ibu-ibu yang membawa serta anak-anaknya, selebihnya ada beberapa lansia. Aku sendiri ikut menumpang bersama ayah dan bibiku. Kami akan mengunjungi saudara di kampung Gantong.

Makin jauh bus melaju, jalan yang kami lewati makin sepi. Tipikal daerah kepulauan, penduduknya lebih ramai di bagian pesisir. Rumah penduduk makin jarang, kebanyakan hanya ladang yang ditinggalkan, area bekas tambang, atau hutan perawan.

Sudah lama aku tak mendengar dialek lokal kampung-kampung di Pulau Belitong. Terasa sangat menyenangkan mendengarkan obrolan-obrolan sederhana dari beberapa penumpang. Tercermin pola pikir mereka yang sederhana, namun sarat cita-cita. Sebutlah Bu Habibah, ibu dua anak ini sedang bercerita tentang anak angkatnya. Anak angkat yang ia besarkan sejak kecil, kini sudah berkeluarga dan menjadi perawat di rumah sakit Tanjongpandan. Kata Bu Habibah, sejak kecil ia ingin anak angkatnya itu mendapatkan pendidikan yang baik, namun ia tak punya biaya.

Beruntunglah Bu Habibah, si anak ternyata punya keinginan yang kuat. Ia usahakan sendiri kelangsungan pendidikannya, beberapa kali pula ia memperoleh beasiswa, sampai bisa meneruskan ke akademi keperawatan. Betapa bangganya kini Bu Habibah, beberapa kali ia ulang-ulang kalimat yang sama : “Kelak, mikak beduak dak kuang kala kan kakak ye..” (Kelak, kalian berdua tak boleh kalah dengan kakak ya..). Begitulah Bu Habibah menyemangati kedua anak kandungnya yang masih kecil. Sepenggal harap dari orang sederhana untuk anak-anaknya.

Bandung, 16 November 2009