Sudah ribuan orang terinspirasi dengan kisah anak Melayu ini. Mungkin kata sebagian orang agak basi mengulas kisah ini berulang kali. Namun tidak bagiku. Karya putra Belitong ini telah menjadi best seller, bahkan sampai ke Malaysia.
Demikian banyak hal menakjubkan yang diangkat dalam buku Andrea Hirata ini. Mungkin satu kata saja tidak akan cukup menggambarkan rasa salutku pada Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor. Sejak lama aku bermimpi ada orang yang dengan penuh percaya diri mengangkat ranah budaya kampung halaman kami. Dengan kemunculan tetralogi ini mimpi itu pun terwujud. Sebuah memoar hidup yang disajikan dengan pendekatan sastra telah hadir di tengah-tengah kita.
Dalam Laskar Pelangi, Ikal (sapaan akrab pengarang ini) memotret dengan apik kehidupan kaum marginal yang justru lahir di tanah yang kaya raya. Kemarginalan ini tidak untuk ditangisi atau dikasihani. Tetapi, di sinilah Ikal dengan gagah berani menoreh mimpi-mimpi anak-anak kampung itu. Lintang, demikian salah seorang inspirator bagi anak-anak miskin anggota Laskar Pelangi. Bagi mereka, Lintang bagaikan purnama yang membuat mereka berani bercita-cita. Anak miskin putra nelayan semenanjung ini demikian cerdas tapi demikian rendah hati. Ada lagi Bu Mus dan Pak Harfan, guru yang rela mengajar bahkan tanpa dibayar, yang tak jemu membakar semangat mereka. Dalam segala keterbatasan inilah para tokoh dalam buku ini dengan bangga memaknai setiap episode kehidupan mereka, berjuang dan berusaha melakukan yang terbaik dalam hidup mereka.
Perjuangan hidup Ikal pun berlanjut dalam Sang Pemimpi. Demikian kuat semangat Ikal, Arai dan Jimbron untuk bersekolah. Mereka rela bangun sejak dini hari untuk bekerja menjadi kuli ngambat demi membiayai hidup dan sekolah mereka kala itu. Hanya mimpi-mimpi dan semangat yang menjadi modal mereka, yang lain mereka tak punya. Diiringi segenap usaha dan do'a akhirnya Allah mengabulkan cita-cita mereka. Ikal dan Arai mampu meraih pendidikan tinggi bahkan sampai ke Perancis tanpa sepeser pun uang dari orang tua.
Sedangkan Edensor menggambarkan petualangan Ikal dan Arai selama bersekolah di Perancis. Seperti impian sepi guru sastra mereka waktu SMA dulu, mereka berhasil menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Dalam penjelajahan ini, Ikal dan Arai menemukan mozaik-mozaik hidup mereka. Pena-pena Ikal berhasil menyajikan dengan apik sekelumit budaya masyarakat Eropa dan sebagian Afrika. Yang menarik, budaya ini diangkat dari sudut pandang orang Indonesia, yang notabene orang kampung sama sepertiku. Tapi bukan berarti cerita ini menjadi kampungan dan norak. Sama sekali tidak.
Satu lagi Maryamah Karpov, buku terakhir dari rangkaian Tetralogi ini. Rencananya akan terbit dalam tahun ini.
Tak terbayangkan bangganya aku menjadi orang Belitong. Pulau kecilku ini ternyata menyimpan orang-orang luar biasa. Terimakasih Andrea Hirata yang telah menjadi inspirasi. Yang telah dengan bangga dan gagah berani mempersembahkan sebuah karya bermutu.
Bandung, 20 Februari 2008
Demikian banyak hal menakjubkan yang diangkat dalam buku Andrea Hirata ini. Mungkin satu kata saja tidak akan cukup menggambarkan rasa salutku pada Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor. Sejak lama aku bermimpi ada orang yang dengan penuh percaya diri mengangkat ranah budaya kampung halaman kami. Dengan kemunculan tetralogi ini mimpi itu pun terwujud. Sebuah memoar hidup yang disajikan dengan pendekatan sastra telah hadir di tengah-tengah kita.
Dalam Laskar Pelangi, Ikal (sapaan akrab pengarang ini) memotret dengan apik kehidupan kaum marginal yang justru lahir di tanah yang kaya raya. Kemarginalan ini tidak untuk ditangisi atau dikasihani. Tetapi, di sinilah Ikal dengan gagah berani menoreh mimpi-mimpi anak-anak kampung itu. Lintang, demikian salah seorang inspirator bagi anak-anak miskin anggota Laskar Pelangi. Bagi mereka, Lintang bagaikan purnama yang membuat mereka berani bercita-cita. Anak miskin putra nelayan semenanjung ini demikian cerdas tapi demikian rendah hati. Ada lagi Bu Mus dan Pak Harfan, guru yang rela mengajar bahkan tanpa dibayar, yang tak jemu membakar semangat mereka. Dalam segala keterbatasan inilah para tokoh dalam buku ini dengan bangga memaknai setiap episode kehidupan mereka, berjuang dan berusaha melakukan yang terbaik dalam hidup mereka.
Perjuangan hidup Ikal pun berlanjut dalam Sang Pemimpi. Demikian kuat semangat Ikal, Arai dan Jimbron untuk bersekolah. Mereka rela bangun sejak dini hari untuk bekerja menjadi kuli ngambat demi membiayai hidup dan sekolah mereka kala itu. Hanya mimpi-mimpi dan semangat yang menjadi modal mereka, yang lain mereka tak punya. Diiringi segenap usaha dan do'a akhirnya Allah mengabulkan cita-cita mereka. Ikal dan Arai mampu meraih pendidikan tinggi bahkan sampai ke Perancis tanpa sepeser pun uang dari orang tua.
Sedangkan Edensor menggambarkan petualangan Ikal dan Arai selama bersekolah di Perancis. Seperti impian sepi guru sastra mereka waktu SMA dulu, mereka berhasil menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Dalam penjelajahan ini, Ikal dan Arai menemukan mozaik-mozaik hidup mereka. Pena-pena Ikal berhasil menyajikan dengan apik sekelumit budaya masyarakat Eropa dan sebagian Afrika. Yang menarik, budaya ini diangkat dari sudut pandang orang Indonesia, yang notabene orang kampung sama sepertiku. Tapi bukan berarti cerita ini menjadi kampungan dan norak. Sama sekali tidak.
Satu lagi Maryamah Karpov, buku terakhir dari rangkaian Tetralogi ini. Rencananya akan terbit dalam tahun ini.
Tak terbayangkan bangganya aku menjadi orang Belitong. Pulau kecilku ini ternyata menyimpan orang-orang luar biasa. Terimakasih Andrea Hirata yang telah menjadi inspirasi. Yang telah dengan bangga dan gagah berani mempersembahkan sebuah karya bermutu.
Bandung, 20 Februari 2008