Sejak terlahir ke dunia, seperti tiba-tiba saja aku sudah punya
saudara, ya memang karena kenyataannya aku lahir lebih belakangan darinya. Dia,
abangku, saudara kandungku satu-satunya. Masa kecil kami, kami habiskan di
Tanjungpandan, Pulau Belitong. Dulu waktu aku masih kecil, yang ada di
pikiranku hanya bagaimana caranya agar aku seperti abang. Jadilah aku seorang
peniru dan pengiri. Apapun yang abang lakukan, aku tak pernah mau kalah. Tapi
kawan, hendak kuceritakan padamu, betapa aku menyayangi laki-laki sederhana ini.
Aku lupa, kapan abangku bisa naik sepeda. Sepedanya
dulu warna biru, merk Senator. Sepeda yang dikayuhnya sepanjang hari kesana
kemari, dan jarang dicuci. Aku jarang diajak abang bermain bersama kawan-kawannya,
alasannya satu, ini urusan anak laki-laki katanya. Aku hanya mendengar-dengar
saja mereka memperbincangkan ikan-ikan peliharaan, meriam bambu atau rencana
mereka berenang di kulong, danau bekas galian timah. Aku paling senang kalau
mereka, kawan-kawan abang, berkunjung ke rumah kami. Rasanya memang lebih seru
bermain bersama anak laki-laki.
Dulu, kalau musim libur sekolah, abang
paling senang menonton film di televisi. Film Boboho adalah salah satu film
yang disukainya, film anak-anak khas tahun 90an. Gelak tawa abang ketika
menonton film Boboho terkadang lebih lucu daripada film yang ditontonnya. Biasanya
kami menghabiskan liburan di rumah nenek, menginap bersama sepupu-sepupu,
sambil belajar berdagang di warung milik nenek. Sesekali nenek akan mengajak
kami ke kebun paman untuk belajar bercocok tanam.
Dulu abang pernah punya cita-cita jadi
advokat, lalu jadi pengusaha, lalu jadi pemain musik, lalu jadi apa lagi,
entahlah aku pun lupa. Kami memang diajarkan
ayah ibu untuk berani bermimpi dan percaya diri. Kata ibu, percuma pintar kalau
tak percaya diri. Saking percaya dirinya, dulu abang sering sekali mengikuti
festival band yang memang sedang ’ngetrend’ ketika itu. Gitar kesayangannya
warna biru, gitar listrik yang sering dicakar-cakar oleh kucing kesayanganku.
Sampai akhir SMP, abang masih menjadi kawanku. Namun, sejak dia
masuk SMA, aku tak banyak mengenal abang. Masing-masing kami seperti sudah
punya dunia sendiri. Kalau dia pulang, obrolan kami tak jarang berujung
pertengkaran. Waktu itu, kuanggap abang adalah orang paling menyebalkan di
rumah kami. Bertahun-tahun kemudian baru aku paham. Abang dan aku ketika itu berada
pada usia peralihan dari anak-anak menjelang remaja, dua-duanya keras kepala. Jadilah kami tak pernah akur, sampai bosan
ayah melerai kami.
Setamat SMA abang merantau ke Bandung. Hari
itu di pelabuhan Pegantongan, kulihat abang melambai-lambai sampai hilang di
kejauhan. Entah harus senang atau sedih, tapi nyatanya beberapa hari kemudian aku
merasa kehilangan. Kami sekeluarga pun pindah ke Pangkalpinang. Ketika SMA aku
seperti anak tunggal, paling keras kepala dan semakin menyebalkan. Hanya
sesekali kudengar kabar abang kalau dia menelpon. Kalau musim liburan pun, dia
lebih memilih pulang ke rumah nenek di Tanjungpandan, bukan ke Pangkalpinang. Aku
tak tahu bagaimana kuliahnya di Bandung sana, aku hanya asyik dengan urusanku
sendiri. Kami pun semakin jauh.
Singkat cerita, akhirnya aku pun menyusul
abang ke Bandung, menjemput giliran menjadi mahasiswa. Sejak saat itulah aku banyak mengenal abang. Kami jauh dari
orang tua, lalu seperti tiba-tiba saja dia tak semenyebalkan dulu. Ketika itu,
aku tiba-tiba dihinggapi rasa tak percaya diri. Masih kuingat sampai hari ini
kata-kata abang: ‘Mereka memang orang-orang hebat. Tapi ingat, kau juga bisa
menjadi bagian dari mereka.‘ Abang tak ingin aku mengkhianati mimpi-mimpiku
sendiri. Suatu malam di bulan Juli, saat pengumuman kelulusan tes masuk Perguruan
Tinggi, aku diliputi sukacita. Allah mengabulkan doa kami. Lalu abang
mengingatkanku: ‘Boleh kau bersukacita, tapi ini baru awal. Perjuangan panjang
siap menunggumu mulai besok‘.
Saat di Bandung dulu, aku sering sekali
sakit. Abang tak pernah mengeluh mengurusku setiap aku sakit, tak pernah
sekalipun. Kalau sakitku tak begitu parah, abang melarangku menelpon ayah ibu.
Abang mengajarkanku agar tak menjadi cengeng. Orang rantau itu harus kuat kata
abang. Sampai tiba waktunya kami harus berpisah, aku pun tegar berjalan dengan
kedua kakiku hingga hari ini.
Abangku orang yang cerdas dan jujur, buku yang
dibacanya bermacam-macam. Kalau dia berbicara, banyak orang yang akan menyimaknya,
karena kata-katanya berisi. Dulu dia dipercaya kawan-kawannya untuk menjadi
ketua Asrama Mahasiswa Belitong di Bandung. Bukan perkara gampang, Kawan,
mengurus belasan mahasiswa rantau dengan belasan perangai pula. Bertahun-tahun
kemudian, aku yakin abang pasti bersyukur pernah menjadi ketua Asrama yang
sebenarnya tak pernah diinginkannya. Abang paling sedih ketika marah.
Kata abang, dia menjadi seperti orang lain, orang yang bahkan tak dikenalnya
sendiri.
Kini abang telah menjadi ayah dari seorang
anak laki-laki yang lucu, Dhani namanya. Maafkan aku tak bisa hadir di hari-hari
bahagiamu, Bang. Dari dulu hingga sekarang, aku memang tak pernah menjadi adik yang
baik, tak pernah sekali pun. Kerjaku hanya menyusahkanmu saja, pun tak
terhitung kalinya aku telah menyakiti hatimu. Terima kasih Bang, untuk semuanya,
cintamu untukku tak habis-habis dan tak pernah bisa kubalas sampai mati. Semoga
Allah senantiasa memberkahi hidupmu, Bang.
Aku tak pernah bisa memilih siapa yang
menjadi abangku, tapi aku tak pernah menyesal telah menjadi adiknya. 7000 mil
jarak memisahkan kami, tapi aku selalu merasakan hangat cintanya begitu dekat.
Karena kata abang, keluarga adalah hal pertama yang hadir dalam hidup manusia dan mereka akan selalu ada untuk kita. Abang
telah mengajarkanku menjadi seorang manusia, seutuh-utuhnya. Karena abang, aku berani
bermimpi, berani mencintai, berani hidup dan berani menjadi aku.