Rembulan luntur di sela kabut
Tengadahku menerobos pokok-pokok meranggas
Remah-remah daun dilahap hujan
Gemericik berbisik lamat-lamat disamarkan angin
Aku, terpaku dibekukan pagi, perlahan-lahan
Bochum, 27 November 2013
Wednesday, November 27, 2013
Friday, November 08, 2013
Nijmegen, ke tujuh kalinya
Kalaulah ada gubahan lagu tentang kenangan akan sebuah kota, tentu banyak orang yang akan mengingat Yogyakarta. Aku pun menyimpan kenangan manis tentang persahabatanku di sana. Lalu, siapa gerangan penyair yang sudi kiranya menggubah lagu serupa untuk kota Nijmegen? Kota kecil nan cantik di tepi Sungai Rijn, yang riak-riaknya mengalir syahdu, mengirimkan limpahan berkah tak putus-putus dari negeri tetangga, Jerman dan Swiss. Nimwegen, begitu lafal Jerman menyebutnya, kota yang akan aku kenang seumur hidupku, tempat salah seorang sahabatku berjuang dalam 3 tahun terakhir ini.
Di masa depan, aku akan mengingat setiap sudutnya yang akan menyimpan dengan indah helai-helai kenangan persahabatan kami di negeri orang. Kerlip selasar stasiun, jari-jari sepeda yang kami kendarai mengelilingi sudut kota, derum bus Breng bercorak merah muda, serta merdu lidah Belanda ketika melafalkan "Nai-me-hen". Gelung-gelung logam abstrak di pusat kota, pernah aku bergelantungan di sana pada suatu siang nan cerah di musim semi, lalu kuingat wajah ramah oma-oma Belanda. Demikianlah serpih-serpih kenangan yang akan kususun mozaiknya nanti pada suatu masa ketika kami tak lagi muda. Seperti kerlip lampu yang menari dalam temaram senja, senyum kota Nijmegen seperti tak akan sirna.
Stasiun Nijmegen Centraal menjelang senja, musim gugur 8 Oktober 2013.
Subscribe to:
Posts (Atom)