Takaran mudah dan tidaknya segala sesuatu sangat relatif. Tergantung siapa lawan bicara kita, bagaimana horizon pengetahuan masing-masing pihak yang berbicara, apa konteks pembicaraannya, dan sebagainya. Namun, kerelatifan ini tidak serta merta menjadikan salah satu pihak merasa lebih tinggi atau lebih tahu dari pihak lain. Kerendahhatian inilah pelajaran yang kuperoleh sepanjang hari kemarin.
Setelah beberapa bulan hanya berkonsultasi via e-mail. Akhirnya kami kembali bertemu dengan dokter Tim secara langsung. Kali ini, dia yang mengunjungi institut kami. Dengan segudang ide baru, Tim mengemukakan permintaannya di depan kami. Aku tergelitik dengan kalimat pembuka yang diucapkannya: "Mungkin aku akan mengajukan beberapa pertanyaan "bodoh", tapi kalian jangan tertawa, ya."
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Tim adalah pertanyaan dari sudut pandangnya sebagai seorang dokter tentang masalah teknis yang lebih berkaitan dengan latar belakang kami sebagai insinyur. Kali ini, Tim mengajak kami berkolaborasi untuk menulis publikasi di sebuah jurnal kedokteran. Hal-hal teknis yang dimintanya dari kami mungkin terlihat "sederhana" di mata kedua pembimbingku, Georg dan Steffi. Namun, bagi Tim, hal ini tentu saja tidak sederhana.
Kedua pembimbingku mencoba menjelaskan solusi-solusi teknis yang akan kami tawarkan, dengan bahasa yang sedapat mungkin bisa dimengerti oleh Tim. Georg mengajak Tim "membaca" beberapa grafik dan diagram. Tim mengangguk-angguk, sambil beberapa kali berkata: "Luar biasa, aku takjub dengan penerjemahan masalah klinis ini di dalam bahasa kalian." Matanya berbinar-binar.
Di akhir diskusi, Georg bertukar peran menjadi penanya "awam". Dia menirukan kalimat Tim: "Saya juga punya pertanyaan "bodoh", tapi jangan ditertawakan ya." Tim tersenyum, lalu mendongeng tentang sistem saraf yang menjadi kawan akrabnya sehari-hari sebagai anestesiologis. Georg pun memujinya, sambil menggeleng-geleng, menandakan kekagumannya pada Tim. Tiga orang bersahaja ini berasal dari latar belakang yang sangat berbeda. Masing-masing berdedikasi terhadap bidangnya. Namun tak sedikit pun saling meremehkan dan merasa lebih tinggi satu sama lain.
Pagi ini Steffi kembali berdiskusi denganku untuk merencanakan eksperimen lanjutan. Kata Steffi, jurnal kedokteran ini impact factor-nya jauh lebih besar dibandingkan tulisan-tulisan kami di bidang engineering. "Kita sungguh beruntung, Hesty, bertemu orang seperti Tim. Kau akan belajar banyak hal, bagaimana berbagi dan belajar di tengah pusaran arus berbagai bidang keilmuan. Jaga baik-baik semangatmu sampai akhir." Aku tertegun mendengar nasihat Steffi.
Aku tak bisa lagi meminta lebih dari ini. Perjalanan ini mungkin akan membawaku kepada petualangan-petualangan yang lebih panjang, "berkarat" dalam pengelanaan intelektual sekaligus spiritual yang akan membentang antara Bochum dan Bandung, Jerman dan Indonesia. "Dr.-Med., Dr.-Ing., Dr. atau apa pun "hanyalah" sederet huruf, gelar yang akan kau pertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Maka, berpikirlah lebih dalam, lebih dari sekedar permukaan", nasihatku kepada diriku sendiri.
Bochum, 15 Oktober 2014.
Setelah beberapa bulan hanya berkonsultasi via e-mail. Akhirnya kami kembali bertemu dengan dokter Tim secara langsung. Kali ini, dia yang mengunjungi institut kami. Dengan segudang ide baru, Tim mengemukakan permintaannya di depan kami. Aku tergelitik dengan kalimat pembuka yang diucapkannya: "Mungkin aku akan mengajukan beberapa pertanyaan "bodoh", tapi kalian jangan tertawa, ya."
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Tim adalah pertanyaan dari sudut pandangnya sebagai seorang dokter tentang masalah teknis yang lebih berkaitan dengan latar belakang kami sebagai insinyur. Kali ini, Tim mengajak kami berkolaborasi untuk menulis publikasi di sebuah jurnal kedokteran. Hal-hal teknis yang dimintanya dari kami mungkin terlihat "sederhana" di mata kedua pembimbingku, Georg dan Steffi. Namun, bagi Tim, hal ini tentu saja tidak sederhana.
Kedua pembimbingku mencoba menjelaskan solusi-solusi teknis yang akan kami tawarkan, dengan bahasa yang sedapat mungkin bisa dimengerti oleh Tim. Georg mengajak Tim "membaca" beberapa grafik dan diagram. Tim mengangguk-angguk, sambil beberapa kali berkata: "Luar biasa, aku takjub dengan penerjemahan masalah klinis ini di dalam bahasa kalian." Matanya berbinar-binar.
Di akhir diskusi, Georg bertukar peran menjadi penanya "awam". Dia menirukan kalimat Tim: "Saya juga punya pertanyaan "bodoh", tapi jangan ditertawakan ya." Tim tersenyum, lalu mendongeng tentang sistem saraf yang menjadi kawan akrabnya sehari-hari sebagai anestesiologis. Georg pun memujinya, sambil menggeleng-geleng, menandakan kekagumannya pada Tim. Tiga orang bersahaja ini berasal dari latar belakang yang sangat berbeda. Masing-masing berdedikasi terhadap bidangnya. Namun tak sedikit pun saling meremehkan dan merasa lebih tinggi satu sama lain.
Pagi ini Steffi kembali berdiskusi denganku untuk merencanakan eksperimen lanjutan. Kata Steffi, jurnal kedokteran ini impact factor-nya jauh lebih besar dibandingkan tulisan-tulisan kami di bidang engineering. "Kita sungguh beruntung, Hesty, bertemu orang seperti Tim. Kau akan belajar banyak hal, bagaimana berbagi dan belajar di tengah pusaran arus berbagai bidang keilmuan. Jaga baik-baik semangatmu sampai akhir." Aku tertegun mendengar nasihat Steffi.
Aku tak bisa lagi meminta lebih dari ini. Perjalanan ini mungkin akan membawaku kepada petualangan-petualangan yang lebih panjang, "berkarat" dalam pengelanaan intelektual sekaligus spiritual yang akan membentang antara Bochum dan Bandung, Jerman dan Indonesia. "Dr.-Med., Dr.-Ing., Dr. atau apa pun "hanyalah" sederet huruf, gelar yang akan kau pertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Maka, berpikirlah lebih dalam, lebih dari sekedar permukaan", nasihatku kepada diriku sendiri.
Bochum, 15 Oktober 2014.