Bandung, sebuah kota yang namanya terngiang-ngiang dalam benakku, bahkan
jauh sebelum aku menginjakkan kaki di sana. Kalau tak salah ingat, aku
mendengar nama Bandung pertama kali dari ayahku. Beliau bercerita tentang
sebuah sekolah, sebuah institut, tempat orang-orang belajar sains, seni dan teknologi. Waktu itu mulut kecilku spontan
berseloroh, "Baiklah, nanti kalau sudah besar, aku mau sekolah ke Bandung
saja, ambil jurusan mesin, biar bisa membuat mesin-mesin canggih!" "Dipakai untuk apa?", tanya ayahku. Aku menggeleng, "Belum tahu,
nanti kita lihat saja!"
Sejak saat itu, kalau ditanya mau ke mana kalau sudah besar, aku selalu
menjawab, "Aku ingin ke Bandung!" Belasan tahun kemudian, aku pun
diantar ayah ke kota kembang ini, mengadu nasib, merantau meninggalkan kampung
halaman. Tujuh tahun kuhabiskan masa mudaku di kota ini. Satu-satunya hal yang
masih kusesali hingga saat ini adalah kemampuan Basa Sundaku yang tak
maju-maju. Hanya dapat logatnya saja, yang bahkan menjadi aksen Bahasa
Indonesiaku sampai saat ini. Aku mesti bertemu orang sekampung dulu untuk
mengembalikan aksen Melayuku, lebih dari itu, orang yang baru mengenalku akan
mengira bahwa aku berasal dari tatar Sunda.
Bandung menjadi kampung halaman ke dua bagiku, setelah Belitung. Bangka
luput dari perhatianku, karena masa SMA yang kuhabiskan di sana masih kalah
berkesan dibandingkan masa-masa yang kuhabiskan di Kota Paris van Java ini.
Ketika aku meninggalkan Indonesia, tak jarang secara tak sadar, aku mengaku
sebagai orang Bandung. Spontan saja, alam bawah sadarku yang menginginkannya.
Meskipun jika mengobrol lebih jauh, aku tentu saja akan bercerita tentang
kampung halamanku, Belitung, tanah Melayu yang melahirkanku.
Lama meninggalkan kampung halaman, membuatku merasa cepat betah berada di
tempat yang baru. Lalu, setelah beberapa lama, aku pun akan merasa bahwa
perantauan adalah juga kampung halamanku. Bochum pun akan bernasib serupa dalam
benakku. Dia telah menggerogoti relung-relung terdalam dalam hatiku. Aku belum
pergi meninggalkannya, namun pelan-pelan aku mulai didera rindu.
Besok pagi, Bandung akan menyambut tamu-tamu kehormatan dari berbagai
negara, khususnya dari kawasan Asia dan Afrika. Wajah Bandung sudah banyak
berubah, semakin cantik dan sering membuatku menitikkan air mata, bangga dan
haru. Bandung, izinkan aku sekali lagi mendekap sejuk udara pagimu, ketika
halimun perlahan-lahan menyeruak dari punggung-punggung gemunung di
sekelilingmu. Izinkan aku berlari lagi bersama derumu. Sabarlah, kelak kita
akan bertemu, tak lupa kubawakan engkau segenggam rindu.
Bochum, 23 April 2015