Ada dua orang dalam lingkar keluargaku yang kelak sangat ingin aku temui, mereka adalah kakek dan nenek Ibuku atau orang tua dari nenekku dari pihak Ibu. Di Belitung, kami biasa menyebut mereka dengan panggilan Datok (Datuk) Laki dan Datok Bini. Dalam Bahasa Indonesia, biasa kita kenal dengan Kakek dan Nenek Buyut.
Kakek Buyutku sudah meninggal sebelum aku lahir, kalau Nenek Buyutku meninggal waktu aku masih balita. Praktis aku hanya mengenal dua sosok ini dari cerita orang tuaku atau orang-orang di sekitarku yang dulu mengenal mereka semasa hidup.
Kakek Buyutku dulu berprofesi sebagai guru, orang-orang biasa memanggil beliau Haji Ibrahim/Guru Ibrahim. Sedangkan Nenek Buyutku seorang ibu rumah tangga dengan segudang keterampilan, orang-orang biasa memanggil beliau Nek Haji Mai (Maisarah).
Kek Ibrahim dan Nek Maisarah ini harum sekali namanya di kalangan keluarga, kaum kerabat, dan handai taulan. Mereka dikenal sebagai pasangan yang cerdas, berpikiran progresif, toleran, dan dermawan.
Mereka berdua lahir di kampung, jauh dari Kota Tanjungpandan, dan bukan dari lingkar keluarga bangsawan seperti keluarga dari pihak Ayahku. Dengan latar belakang seperti itu, keduanya fasih berbicara dan menulis dalam Bahasa Melayu, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Arab, hal yang sangat langka pada zamannya, apalagi di kalangan rakyat biasa.
Mereka berdua juga terampil berdagang dan berwirausaha, sekaligus fakih dalam ilmu agama. Pada saat yang sama, mereka berdua juga dikenal sebagai orang-orang berpikiran terbuka, pergaulannya luas tak mengenal sekat. Rumah mereka dulu terbuka untuk semua kalangan dan usia, bebas bagi siapa saja yang ingin belajar, meminta pertolongan, atau sekadar bersilaturahmi.
Belitung sudah lama menjadi pusaran peradaban dengan percampuran berbagai suku bangsa. Kek Ibrahim dan Nek Mai dulu punya banyak saudara angkat dari berbagai kalangan, tak sedikit pula yang sempat bersyahadat memeluk Agama Islam atas wasilah mereka.
Anak rantau dari kampung yang ingin bersekolah di Tanjungpandan boleh tinggal di rumah mereka. Perantau dari Madura, Bawean, dan Sulawesi yang cukup banyak jumlahnya di Belitung pun sama, banyak sekali yang jadi saudara angkat mereka. Mereka naungi orang-orang rantau ini dalam masa-masa adaptasi mereka ketika pertama kali sampai di Belitung.
Orang-orang Tionghoa yang sampai saat ini cukup banyak jumlahnya di Belitung pun sama saja, banyak yang menjadi saudara angkat Kek Ibrahim dan Nek Mai. Aku ingat cerita Ibuku beberapa tahun yang lalu. Ketika itu, sehari sebelum Hari Raya, Ibuku singgah di sebuah toko kelontong tak jauh dari rumah kami untuk membeli kelapa. Nyonya Tionghoa pemilik toko memperhatikan Ibuku seperti penasaran, begitu pun Ibuku. Akhirnya Ibuku bertanya, "Nya, dulu Nyonya pernah tinggal di Jalan Gang Perai, bukan ya?" Sang Nyonya Tionghoa langsung menjawab, "Betul, kamu siapa ya? Dari tadi saya juga penasaran, seperti tak asing wajahnya, tapi saya lupa." Ibuku hanya menjawab singkat saja, "Saya cucu Kek Haji Ibrahim, Nya." Lalu berderet-deretlah cerita Sang Nyonya tentang masa kecilnya di kampung itu.
Singkat cerita, dulu, Kakek dan Nenek Sang Nyonya Tionghoa ini pernah bertetangga dengan Kakek dan Nenek Buyutku. Lalu, di akhir tahun 50-an dan awal tahun 60-an, Pemerintah Orde Lama memberikan pilihan kepada perantau-perantau Tionghoa di Indonesia yang sebelumnya memiliki kewarganegaraan ganda RRT-Indonesia untuk memilih salah satunya. Kakek dan nenek Sang Nyonya ini akhirnya memilih untuk mempertahankan kewarganegaraan RRT mereka dan pulang ke RRT. Mereka pun bersiap-siap, rumah dan kebun yang mereka usahakan akhirnya mereka jual ke Kek Ibrahim. Lalu, entah apa yang terjadi, keluarga ini batal pulang ke RRT. Rumah dan tanah sudah dijual, praktis mereka tak punya tempat bernaung lagi.
Kek Ibrahim lalu mengizinkan keluarga Tionghoa ini untuk menempati kembali rumah dan kebun yang sudah mereka jual kepada beliau tanpa membatalkan transaksi jual beli yang sudah terjadi. Singkatnya, mereka boleh tinggal kembali di sana dan mengusahakan kembali kebunnya sampai kapan pun tanpa perlu membayar sepeser pun ke Kek Ibrahim.
Kembali ke Sang Nyonya. Ketika itu, sang Nyonya masih remaja, ia ingat dengan jelas semua peristiwa yang tadi diceritakannya kepada Ibuku. Di akhir cerita ia menutup dengan mata berkaca-kaca, "Sampai kapan pun saya tidak akan lupa dengan Kek Ibrahim dan Nek Mai, karena keduanyalah yang telah menolong Kakek dan Nenek saya. Mereka tak pernah pindah dari rumah dan kebun itu sampai akhir hayat mereka."
Lalu aku membayangkan, kalau pada era sekarang Kek Ibrahim dan Nek Mai masih hidup pasti mereka sedih melihat bibit-bibit perpecahan dengan saudara-saudara kita dari kalangan Tionghoa yang sering sekali diembus-embuskan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab.
Kekagumanku tak habis-habis kepada kedua sosok ini, apalagi Nek Maisarah. Nek Maisarah adalah potret perempuan cerdas, berdaya, dan berpikiran maju. Nek Mai dulu sangat fasih melantunkan syair dan hikayat Melayu yang menceritakan kisah-kisah Nabi dan Rasul, dan tokoh-tokoh besar bangsa Melayu. Kata Ibuku, lantunannya itu tak sembarangan, ada nada dan iramanya, skripnya ditulis dalam Bahasa Melayu dengan huruf Arab gundul. Cucu-cucu beliau biasa menyimak kisah-kisah itu selepas Magrib, berkumpul dalam lingkar nan hangat di ruang tengah rumah beliau.
Nek Mai juga penyayang binatang, yang paling kuingat dulu waktu aku masih balita, di rumah beliau selalu ada kucing. Beliau juga beternak ayam dan entog. Waktu masih muda, Nek Mai terampil menunggang kuda. Soal kuda ini yang aku paling kagum. Pertama, kuda adalah binatang langka di Belitung, sampai sekarang pun tak banyak jumlahnya. Kedua, Nek Mai ini seorang perempuan, anak kampung pula, dan lahir jauh sebelum Indonesia merdeka. Perempuan pada zamannya, jangankan menunggang kuda ke sana ke mari, bisa diizinkan ke luar rumah berjalan kaki pun sesuatu yang belum selumrah sekarang.
Lain waktu, Ibuku menuturkan kisah kedua suami istri ini ketika mereka menunaikan ibadah haji. Kapalnya berlayar berbulan-bulan membawa penumpang beserta seluruh kebutuhan mereka selama perjalanan, termasuk ternak. Sejak itu aku paham, mengapa dulu penjajah Belanda sangat berhati-hati dengan orang-orang yang sudah menunaikan ibadah haji. Orang-orang ini menempuh perjalanan panjang lagi sulit, mereka yang bisa kembali ke tanah air adalah orang-orang terpilih yang telah tertempa. Orang-orang akan dengan mudah mendengarkan kata-kata mereka, mereka punya tempat di hati masyarakat. Sekali Belanda berulah, mereka bisa dengan mudah mengerahkan kekuatan ribuan orang untuk melawan.
Kek Ibrahim dan Nek Mai dikaruniai 4 orang anak, yang tertua Kek Long Siddiq, kedua Nek Anjang Zaina, ketiga Nek Ute Badi'ah (nenekku), dan yang terakhir Nek Busu Farida. Keempat-empatnya juga sudah tiada. Mereka berempat dulu disekolahkan sampai tingkat Sekolah Menengah Agama oleh orang tuanya. Lalu, Kek Siddiq melanjutkan pendidikannya sampai ke Arab Saudi dan sempat tinggal beberapa tahun di sana, Nek Zaina dan Nenekku sempat berprofesi sebagai pendidik seperti ayahnya, lalu Nek Busu Farida, si Bungsu, sempat disekolahkan ayahnya sampai ke Palembang. Kek Ibrahim dan Nek Mai memilih pindah dari Kota Kecamatan di Kampit Belitung Timur ke Tanjungpandan, agar anak-anaknya bisa sekolah, hal yang sangat langka dilakukan orang-orang pada zamannya. Keduanya sudah menyadari pentingnya pendidikan, di saat orang-orang kebanyakan tak ambil peduli. Kalau soal ini, sampai sekarang pun di kampung-kampung di Belitung, hal ini masih menjadi PR besar untuk pemerintah dan masyarakat.
Masih banyak kisah-kisah harum Kek Ibrahim dan Nek Mai yang sering kudengar, bahkan dari orang-orang di luar lingkar keluarga kami. Sampai sekarang aku masih sangat penasaran, bagaimana mereka bisa tumbuh menjadi orang-orang seperti itu pada zamannya, bagaimana pula dengan orang tua mereka.
Hari ini aku teringat dan ingin sekali bercerita tentang Kek Ibrahim dan Nek Mai lantaran tadi pagi aku bercerita kepada Ayahku tentang kain kafan untukku sendiri yang sudah kusiapkan. Kata Ayahku, Nek Mai dulu selangkah lebih siap secara teknis dari persiapanku. Beliau bahkan sudah menyiapkan nisan yang bertuliskan namanya sendiri jauh sebelum hari kematiannya tiba.
Seorang sahabat pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling cerdas?" Rasulullah SAW menjawab, "Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian, itulah orang yang paling cerdas."
Semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang dimaksud oleh Rasulullah SAW dalam hadits ini.
Aku terdiam mendengarkan kisah dari Ayahku tadi. Dua sosok ini, Kek Ibrahim dan Nek Mai adalah pendahuluku, yang melalui jalan mereka aku hadir di dunia ini. Mereka tak sekolah sampai ke pelosok dunia untuk menghayati setiap butir ilmu yang mereka terima dari guru-guru dan orang tua mereka. Mereka adalah bukti nyata dari penghayatan ilmu yang bermanfaat dalam wujud yang sebenar-benarnya, ilmu yang tak hanya menempel dalam ingatan, tapi diwujudkan dalam praktik kehidupan untuk kebermanfaatan hidup yang seluas-luasnya.
Kisah hidup mereka ini kutulis bukan dengan maksud berbangga-bangga akan nasab dan keturunan, namun untuk memetik sebanyak-banyaknya hikmah dan teladan dari mereka yang telah tiada, utamanya pula untuk diriku sendiri. Kalau rindu bisa didefinisikan dengan kata-kata, kisah ini adalah surat rinduku untuk mereka, Kakek dan Nenek Buyutku tercinta. Semoga Allah merahmati mereka.
Bandung, 20 Juni 2021