Waktu itu aku masih sangat kecil untuk mengingat banyak hal. Mungkin hari-hari itu usiaku belum genap 4 tahun, sehingga tak banyak kenangan bersama kakek yang bisa terekam jelas dalam memoriku. Mungkin, hanya dua hal yang bisa kuingat. Waktu itu, kakek sering menggunakan tongkat, mungkin tubuhnya sudah sedemikian lemah untuk bisa berjalan tegak. Lalu yang kedua, beliau selalu meniup ubun-ubunku dan juga abangku setiap sore jika kami berkunjung ke rumah beliau. Sampai sekarang hal ini masih membuatku bertanya-tanya. Dan seingatku beliau tak pernah melakukannya pada kakak dan abang-abang sepupuku.
Beliau meninggal ketika usiaku baru 4 tahun, 3 bulan dan 21 hari. Hari itu adalah penghujung tahun 1990, tepatnya 31 Desember 1990. Sebelumnya beliau tidak mengalami sakit, hanya sejak pagi beliau tampak lemah dan terbaring di tempat tidur. Ayah, ibu, paman dan bibi-bibiku sudah berkumpul sejak pagi. Yang kuingat pada menit-menit terakhir sebelum wafat, beliau selalu menanyakan waktu. “Jam berapa sekarang ?”, ucap beliau lirih. Demikian berulang-ulang, padahal sebuah jam weker berada di samping beliau. Mungkin beliau sudah tak sabar ingin sholat Ashar dan hanya beberapa menit menjelang waktu Ashar beliau meninggalkan kami semua. Ayah, ibu, paman dan bibi-bibiku menangis dan aku pun ikut menangis. Karena masih kecil, aku tak paham betul apa yang terjadi ketika itu, sehingga sambil menangis aku berkata pada ayahku : “Aku tak punya kakek lagi….”. Lalu ayahku menjawab : “Sudah, jangan menangis lagi, kan masih ada kakek yang satunya lagi…”. Dan seketika tangisku reda. Demikian sederhana pemikiranku saat itu.
Maka, karena kakek sudah meninggal sejak aku masih kecil, aku lebih banyak mengenal beliau dari cerita-cerita ayahku. Alhamdulillah sejak kecil aku demikian suka bertanya tentang banyak hal, dan ayahku pun tak pernah lelah menjawab pertanyaan-pertanyaanku.
Dari cerita-cerita ayah, aku mengenal pribadi bersahaja ini. Beliau adalah orang yang pintar dan demikian suka belajar. Dulu, kakek hanya pernah mengenyam pendidikan dasar jaman Belanda, dan itu pun tidak tamat. Aku tak tahu jelas alasannya. Mungkin karena berkepribadian terbuka dan selalu ingin tahu, beliau tak cocok dengan gaya pendidikan Belanda bagi pribumi ketika itu. Tetapi, Subhanallah, pemikirannya jernih luar biasa. Dulu aku mengira kakekku pernah menempuh pendidikan tinggi, karena buku-buku beliau demikian banyak, bertumpuk-tumpuk dan tak sedikit dari buku-buku beliau merupakan teks wajib di perguruan-perguruan tinggi. Buku beliau bermacam-macam, mulai dari buku-buku agama, sastra, sejarah, hukum dan lain-lain. Rupanya beliau memang seorang pembelajar dan otodidak yang sebenarnya.
Jaman dulu orang tak terlalu mementingkan soal ijazah, yang penting adalah kompetensi yang dimiliki. Tak terlalu buruk bagi kakek, dengan pendidikan formal yang demikian rendah, kakek pernah dipercaya pemerintah untuk menjadi seorang camat. Dulu namanya asisten wedana. Beliau pernah ditugaskan di Membalong, lalu dipindahkan ke Merawang di Pulau Bangka. Ketika akan dipindahkan lagi ke kecamatan Kelapa, beliau lebih memilih untuk pensiun dan pulang ke Belitong. Ketika bertugas di Bangka inilah beliau bersahabat dengan Kemas Duri, ayah dari Rafika Duri.
Waktu ditugaskan di Merawang, kakek sering diberi hadiah berupa hasil-hasil bumi dan peternakan oleh penduduk sekitar. Tapi kata ayah, kakek selalu menolak dengan halus pemberian mereka. Beliau demikian hati-hati memegang amanah sebagai pemimpin. Bila semua pejabat jaman sekarang berpendirian seperti itu, mungkin kita tak ’kan mengenal kosakata korupsi, kolusi, dan nepotisme di negara ini.
Sejak dulu aku senang sekali menjadi semacam peneliti sejarah, sejarah apapun itu. Maka tak heran aku demikian bersuka cita jika diajak ayah ke rumah peninggalan kakek. Ayah sering merapikan naskah-naskah kuno dan buku-buku milik kakek. Di sana banyak hal yang bisa kupelajari. Banyak sekali salinan surat-surat kakek ke berbagai penerbit. Rupanya secara rutin beliau memesan buku-buku ke penerbit-penerbit di Pulau Jawa. Selain itu, beliau sering berkirim surat ke berbagai sahabat, kerabat dan anak-anak beliau yang ketika itu bersekolah di Pulau Jawa, yaitu paman dan ayahku. Maka, kebiasaan kakekku ini mendukung hobiku yang lain sebagai filatelis.
Dulu sebelum direnovasi, rumah kakek punya satu ruangan kecil yang beliau pakai khusus untuk belajar. Di sana ada meja belajar kayu model lama, sepasang bangku dengan meja bulat untuk beliau menerima sahabat-sahabat dan handai taulan, buku-buku dan berbagai alat tulis. Rak buku tak diletakkan di ruangan itu, karena ruangan itu terlau sempit untuk meletakkan rak buku yang demikian besar untuk menampung buku-buku beliau.
Kakekku juga seorang yang disiplin dan rapi dalam berbagai hal. Hal ini terlihat dari cara beliau membagi waktu dan menata berbagai hal. Kuduga ada hubungan disiplin ini dengan pertanyaan beliau yang berulang-ulang sebelum beliau wafat, pertanyaan tentang waktu. Beliau juga menuliskan dengan rinci berbagai pengeluaran dan pemasukkan setiap bulan. Selain itu, tak terlewatkan pula dalam buku catatan beliau mengenai berbagai peristiwa-peristiwa penting yang beliau alami selama hidup. Tak terkecuali kelahiran anak-anak dan cucu-cucu beliau. Kuingat pula ada sebuah lemari kecil tepatnya kotak yang dipasang menempel pada dinding. Di kotak itu beliau menyimpan berbagai obat-obatan dan perlengkapan P3K.
Dari cerita ayah dan pamanku pula aku mengenal watak kakek yang cukup keras. Dulu waktu kakek masih tinggal di rumah yang lama di Jalan Merdeka, beliau punya kebiasaan duduk-duduk di teras sambil membaca. Ada salah seorang kerabat kami yang senang sekali bersiul, tetapi begitu lewat dekat rumah kakek ia tak ‘kan berani bersiul. Nyalinya terlalu kecil untuk menghadapi hardikan kakekku. Di rumah ini juga kakek menanam berbagai pohon buah-buahan. Pohonnya besar-besar dan tinggi sehingga layangan anak-anak di kampung itu seringkali tersangkut. Namun, tak ada anak yang berani memanjat untuk mengambil kembali layangan mereka, karena kakek akan sangat marah. Beliau juga akan sangat marah jika anak-anak beliau tak disiplin soal waktu. Aku tak pernah melihat rumah kakek yang di Jalan Merdeka ini, karena sebelum aku lahir rumah itu telah dijual dan menjadi kantor cabang BRI Tanjongpandan sampai saat ini. Aku hanya tahu rumah kakek yang sekarang, dan waktu kecil aku pun sempat tinggal di situ.
Kakekku juga sangat memperhatikan masalah pendidikan. Dengan segenap daya upaya yang bisa beliau lakukan, beliau selalu mendukung pendidikan anak-anaknya. Tapi, entah siapa yang salah. Sebagian besar anak-anak beliau tak terlalu mulus menjalani soal pendidikan ini. Banyak yang memilih berhenti dengan berbagai alasan, bahkan walaupun sudah sampai jenjang perguruan tinggi. Aku tak tahu jelas apa alasannya.
Demikian banyak kesan mendalam tentang kakekku yang kusimpan baik-baik dalam ingatanku. Aku merasa beruntung memiliki kakek seperti beliau. Kakekku dianggap ayahnya dulu sebagai anak yang beliau pilih untuk mengurus berbagai hal yang berhubungan dengan keluarga besar kami. Padahal kakekku bukan anak laki-laki tertua yang lazimnya dipilih orang Melayu untuk hal itu. Kuduga, kakekku memiliki kapasitas intelektual dan kebijaksanaan yang menjadi pertimbangan ayahnya untuk memilih beliau. Demikian mungkin yang tersirat dalam surat wasiat kuno dari leluhur beliau Ki Agus Endek yang sempat kubaca. Surat itu ditulis dalam huruf Arab Melayu dan dikirim dari Mekah melalui seorang kurir ketika Ki Agus Endek sedang menunaikan ibadah haji. Disana tertulis kata-kata : “......untuk anak cucuku yang cerdik dan cendikia....”
Dengan penuh rasa bangga aku menceritakan kebersahajaan, pendirian, dan kecendikiaan kakekku,
Ki Agus Razak Unus bin Ki Agus Unus. Beliau lahir pada tahun 1909 dan meninggal pada usia 81 tahun. Semoga Allah menerima amal ibadah beliau dan mengampuni kesalahan-kesalahannya. Amin...
Bandung, 30 April 2008