Friday, May 02, 2008

Kehidupan Sosial Masyarakat dan Kerusakan Lingkungan berkaitan dengan Pertambangan Timah

Sejak pengelolaan timah dipegang penuh oleh PT. Timah, kehidupan sosial masyarakat mulai berubah. Sebagian besar pribumi menempati posisi pekerjaan rendahan di perusahaan ini. Sedangkan posisi-posisi strategisnya sebagian besar dipegang oleh orang luar daerah. Selama puluhan tahun terjadi kesenjangan sosial antara penduduk setempat dan pegawai-pegawai staf PT. Timah. Fasilitas yang disediakan oleh perusahaan untuk para pegawai staf sangat mewah, mulai dari fasilitas kesehatan, hiburan, olahraga, pendidikan dan lain-lain. Sedangkan masyarakat sekitar dan para pegawai rendahan hanya mendapatkan fasilitas yang tidak sebanding. Kesenjangan puluhan tahun ini lama-kelamaan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Puncaknya yaitu saat PT. Timah dilanda krisis pada akhir tahun 1980an sampai awal 1990an. Merosotnya harga timah dunia dan manajemen perusahaan yang salah urus disebut-sebut menjadi penyebabnya. PHK besar-besaran yang dilakukan perusahaan ini memunculkan angka pengangguran baru.

Masa-masa kejayaan pertambangan timah di Bangka Belitung telah melewati masanya. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 dan merosotnya harga komoditas pertanian lokal seperti karet dan lada memaksa ribuan petani mencari alternatif sumber penghidupan. Sebagian besar penduduk berubah profesi menjadi penambang di tambang-tambang inkonvensional (TI) atau tambang rakyat tak berizin. Aktivititas penambangan liar ini mulai marak sekitar tahun 2000an.

Pada tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis, Bupati Bangka saat itu, Eko Maulana Ali, sekarang Gubernur Provinsi Bangka Belitung, memberikan izin aktivitas penambangan skala kecil. Sejak saat itu, aktivitas penambang liar semakin tak terkendali. Data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi tahun 2001 memperlihatkan, dari sekitar 70.000-an unit tambang rakyat, yang berizin hanya sekitar 30 persen.

Maraknya aktivitas penambangan liar ini secara tidak sadar cenderung sebagai pelampiasan penduduk lokal atas kesenjangan sosial yang telah terjadi selama puluhan tahun sebelumnya. Sektor ini kini menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat yang mendatangkan hasil jutaan rupiah. Lebih dari 70 persen penduduk dari setiap desa hidup dari TI. Sektor ini menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, apakah ini menjadi pertanda baik bagi kehidupan masyarakat di Bangka Belitung?

Kini masyarakat harus menghadapi dampak-dampak sosial karena maraknya aktivitas pertambangan rakyat ini, seperti kegiatan prostitusi, konsumtivisme, dan terkikisnya nilai-nilai positif lokal. Belum lagi, kerusakan lingkungan yang semakin tak terkendali.

Aktivitas penambangan liar yang semakin tak terkendali telah menjadi penyumbang terbesar pula bagi kerusakan lingkungan. Tanpa pengendalian dan pengawasan, tambang-tambang ini meninggalkan lubang-lubang menganga dan lahan-lahan tandus yang perlu waktu ratusan tahun untuk memulihkannnya kembali. Itupun kalau kegiatan reklamasi berjalan sebagaimana mestinya.

Reklamasi yang dilakukan oleh PT. Timah terhadap lahan bekas penambangan menemui berbagai hambatan. Kegiatan ini sempat terhenti beberapa tahun dan kelangsungannya tersendat-sendat. Hal ini disebabkan oleh aktivitas TI yang sering menambang di bekas lahan galian PT.Timah yang akan atau sudah direklamasi dan baru mulai menjadi hutan-hutan muda. PT. Timah memang menyisakan 10-15 persen kandungan bijih timah di suatu lahan pertambangan.

Kegiatan pertambangan di Bangka Belitung telah mencemari air permukaan, merusak hutan dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Namun di lain pihak, ternyata sekitar 70-80 persen produksi PT. Timah dan PT. Kobatin, dua perusahaan resmi pertambangan timah di Bangka Belitung, diperoleh dari TI. Jadi, rakyat bukan satu-satunya pihak yang bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan di daerah ini. Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apa yang tersisa untuk generasi Bangka Belitung di masa mendatang?

Bandung, 21 Februari 2008
[dari berbagai sumber]

No comments: