Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Salah
satu kebiasaanku sejak dulu, jika ingin bertemu seorang guru untuk pertama
kalinya, malam sebelumnya pasti aku tak enak tidur. Pikiranku menerawang,
membayangkan untaian-untaian ilmu baru yang akan kudengar keesokan harinya.
Hari ini adalah salah satu hari besar bagi diriku
sendiri. Aku akan bertemu seorang dokter yang akan membagi ilmunya padaku, pada
kami. Pertama kali kudengar namanya dari Supervisorku, tak menunggu lama,
segera kucari segala informasi yang berhubungan dengan sepak terjang sang
dokter dalam bidang yang digelutinya. Informasi sudah terkumpul di kepalaku, Tim
begitu namanya, singkat saja dan mudah dihafal, wajahnya sudah kuingat, begitu
pula bidang keahliannya dan sedikit sifat antusiasnya yang diceritakan oleh
Supervisorku.
Belum lepas tengah hari, aku dan Supervisor ke duaku
menuju rumah sakit tempat sang dokter bekerja. Supervisor keduaku ini seorang ibu muda, Stefi
namanya, bahasa Inggrisnya tak selancar Supervisor pertamaku. Namun tak sedikit
pun hal ini menghilangkan keramahannya padaku dan secara tak langsung dia
adalah guru Bahasa Jermanku selama lebih dari setahun terakhir ini. Jalanan
masih sedikit basah sisa hujan tadi malam, Stefi memarkir mobilnya pelan-pelan.
Tadi selama di perjalanan, Stefi bercerita tentang rumah sakit tempat
Tim bekerja. Berufsgenossenschaftliches Universitätsklinikum Bergmannsheil begitu nama
rumah sakit ini dalam bahasa Jerman, mungkin jika diterjemahkan secara bebas,
kira-kira artinya rumah sakit yang berhubungan dengan pekerjaan (profesi)
sekaligus sebagai sarana penelitian bagi universitas, profesi dalam hal ini
pekerja tambang, dan universitas yang dimaksud adalah Ruhr Universität Bochum, universitas
tempatku belajar saat ini. Sejarahnya begini, dulu sekali, Bochum dan kota-kota
sekitarnya sepanjang Sungai Ruhr merupakan salah satu pusat pertambangan
batubara di Eropa. Rumah sakit ini didirikan dalam rangka untuk menangani
pekerja-pekerja pertambangan yang mengalami kecelakaan ketika menjalankan
tugasnya. Bergmannsheil ini sudah sejak lama terkenal dalam bidang penanganan
emergency (gawat darurat), sehingga menjadikannya rumah sakit emergency tertua
dan terbesar di dunia. Fasilitas klasik, lengkap dan bersahaja ini rupanya tak
jauh-jauh, tak lebih dari selemparan buah jambu dari tempat tinggalku. Kini,
Bergmannsheil tidak hanya dikhususkan bagi pekerja tambang, namun terbuka untuk
semua kalangan dan menjadi salah satu rumah sakit pendidikan yang mendukung penelitian
di Ruhr Universität Bochum, khususnya Fakultas Kedokteran.
Sejak kecil, aku tak pernah takut ke rumah
sakit. Aku senang memperhatikan dokter-dokter yang lalu lalang dengan jas putih
dan stetoskop yang tergantung di leher mereka. Namun, tak pernah sekali pun aku
bercita-cita ingin menjadi dokter, alasannya pun aku sendiri tak pernah tahu,
pokoknya tak mau saja. Kami memasuki pintu utama, sudah 3 pasien berkursi roda
yang lalu lalang di hadapanku. Pelajaran pertama, bersyukur, kedua kakiku masih kuat berjalan dan berlari
ke sana kemari. Tak lebih dari 5 menit, Tim datang menyambut kami, wajahnya
sumringah seperti baru bertemu kawan lama. Pakaian yang dikenakannya berwarna
hijau tua, pakaian untuk operasi, pada saku jas putihnya terselip telepon
emergency yang sering sekali berdering, dan berkali-kali dia minta maaf pada
kami gara-gara telepon emergency ini.
Ruangan Tim lebih tampak seperti "bengkel" teknik daripada
ruangan seorang dokter. Satu set ultrasonic device teronggok di sudut ruangan,
jarum suntik dan kateter dari berbagai model dan ukuran berserakan di meja dan
kardus-kardus. "Saya pencandu kopi", begitu kalimat perkenalannya
padaku sambil tertawa ringan. Dia menawari kami kopi, tapi kuminta saja segelas
air putih, perutku tak enak lantaran terlalu bersemangat sejak tadi pagi. "Dia mengerti Bahasa Jerman, namun akan lebih sering berbicara dalam Bahasa Inggris", begitu Stefi mengenalkanku pada Tim. Tim mengangguk senang, dan dia tampak lebih senang ketika tahu aku berasal dari Indonesia, tak tahu aku apa alasannya.
Obrolan kami mengalir hangat, Tim membuka-buka file presentasinya,
menerangkan pada kami masalah-masalah yang dia hadapi dalam dunia klinis. Tim
adalah seorang ahli anestesi, selain praktik sebagai dokter di Bergmannsheil,
dia juga seorang Doktor yang aktif meneliti dan hadir dalam forum-forum ilmiah. Aku menjadi saksi
bagaimana bersahajanya dokter muda ini. Sedikit banyak aku tahu sepak
terjangnya dalam bidang ini, namun berkali-kali dia katakan "Ich bin Arzt",
"Saya adalah dokter". Bukan bermaksud untuk menyombongkan diri, dia
berkata begitu sembari menunjukkan kejanggalan-kejanggalan pada jarum suntik
yang ditusukkannya ke tubuh pasien. Dia kehilangan jejak, pada berbagai keadaan
tertentu, ultrasonik tak mampu "melihat" jarum yang menembus tubuh
pasien, dia tak tahu alasannya karena dia seorang dokter, bukan insinyur. Untuk
itu lah kami datang padanya, kami akan saling membantu memecahkan misteri ini,
sampai suatu hari nanti ketika tiba saatnya aku boleh pulang ke tanah air.
Begitu ideal kondisi penelitian di Jerman ini, setidaknya sinergi seperti
ini belum terlalu jamak kita temui di tanah air. Tapi, aku yakin, suatu hari
nanti hal ini bukan tak mungkin kita wujudkan. Para ahli dari berbagai bidang duduk
bersama dalam satu meja, satu sama lain saling melengkapi tanpa sekat-sekat
senioritas dan fanatisme profesi.
Berbagai rekaman proses anestesi dan biopsy ditunjukkan oleh Tim pada kami.
Giliran kami yang memaparkan ide-ide padanya, pandangan kami sebagai insinyur.
Aku menunjukkan sebuah grafik yang kukerjakan dalam sebulan terakhir ini. Di
sini aku belajar berbicara bagaimana menerjemahkannya bahasa teknik ke dalam
bahasa yang bisa dimengerti oleh dokter, tak mudah memang, tapi tetap kucoba.
Aku harus mengulang sampai 3 kali hingga Tim mengerti, dia mengangguk-angguk
senang, dan sekali lagi dia berkata "Ich bin Arzt". Stefi nampak tak
begitu kuat melihat rekaman "berdarah-darah" yang ditunjukkan Tim,
aku malah menunjuk-nunjuk senang, kami bertiga pun lalu tertawa riang.
Tak terasa 1,5 jam berlalu begitu cepat. Tim mengoleh-olehi kami satu
kardus berisi jarum suntik dan kateter dari berbagai ukuran untuk kami pakai
dalam eksperimen nanti. Dia berseloroh, "Apa lagi yang bisa saya bantu dan
sediakan? Jangan segan-segan memberitahu, asalkan bukan masalah fisika dan
teknik", ujarnya sambil tertawa senang. Supervisorku
ternyata benar, Tim adalah seorang dokter yang ramah dan antusias. Dia senang
bisa berbagi dan mengutarakan masalah-masalah teknik yang dihadapinya pada
kami. Tiba-tiba telepon Tim berdering lagi, kali ini benar-benar emergency. Tim
harus segera berada di ruang operasi. Dia mengantar kami menuju lift sambil berlari sedikit tergesa, lalu dia
berjanji akan mengatur jadwal pertemuan berikutnya.
Aku dan Stefi kembali menuju kampus sambil mendiskusikan rencana-rencana
selanjutnya. Kami diliputi rasa senang karena keramahan dan ilmu-ilmu baru yang
kami peroleh dari Tim. Di perempatan lampu merah menuju kampus, Stefi tiba-tiba
menunjuk sebuah rumah tua. "Hesty, kau harus melihat rumah ini nanti
beberapa bulan lagi". Aku bingung, apakah gerangan yang istimewa dari
rumah ini. Stefi bercerita bahwa saat musim bunga tiba beberapa bulan lagi,
rumah ini akan berubah menjadi istana kecil seperti dalam dongeng, berhias
bunga warna-warni pada taman dan dinding-dindingnya. Aku mengangguk-angguk
diliputi rasa penasaran. Namun rasa penasaranku ini tak mampu mengalahkan rasa penasaranku
yang lain pada sekardus jarum suntik yang akan menemani kami hingga
berbulan-bulan ke depan nanti, semoga mereka pun tak kalah "berbunga"
dibandingkan rumah mungil ini.
Bochum, 11 Februari 2014.
4 comments:
Ternyata cerita yang masih terus bersambung. Tulisan yang menarik. Sebuah petualangan yang epik, tabik!
:D
Terima kasih atas apresiasinya, Riph :D
sangat suka membaca tulisan kamu
terima kasih kerana berbagi cerita :)
Terima kasih, Hidajah :D
Post a Comment