Di akhir musim panas tahun lalu, aku dipertemukan dengan sekelompok anak muda yang mempunyai kegemaran yang sama denganku, bertualang menikmati alam. Kata orang, persahabatan itu bukan lantaran lamanya saling mengenal, tapi kecenderungan jiwa, itu saja. Aku menemukan mimpi-mimpiku bersama sahabat-sahabatku ini, menjelajahi pelosok hutan, menikmati harum rerumputan dan desir angin belaian alam. Pada sehelai pagi nan sejuk di awal September tahun lalu, sebuah perjalanan panjang pun dimulai. Perjalanan tentang persahabatan dan butir-butir rindu yang kami kumpulkan untuk tanah kelahiran.
Aku percaya, setiap pertemuan di dunia ini terjadi bukan
karena kebetulan. Seorang guruku pernah bercerita, bahwa segala fenomena acak
di alam ini disebut acak karena manusia saja yang belum menemukan polanya. Sesungguhnya memang ada formula-formula
yang telah tersusun dengan sempurna di balik segala peristiwa. Begitu pula dengan
pertemuanku dengan sahabat-sahabatku ini, seperti tanpa sengaja dan tanpa
rencana. Pagi itu, embun masih tersisa pada helai-helai daun dan
rerumputan. Hari-hari di awal September adalah masa-masa pergantian musim,
ketika musim panas belum sepenuhnya beranjak, tetapi musim gugur pun belum
sepenuhnya tiba. Petualangan pertama kami dimulai pada pagi yang masih sepi,
ketika gerbong-gerbong kereta regional menuju Heimbach mengantarkan kami ke
Taman Nasional Eifel, sebuah taman nasional yang terletak di sebelah tenggara
kota Aachen.
Hari itu sekaligus menjadi pengalaman pertama bagiku
menjelajahi taman nasional di Jerman. Aku kagum pada sistem yang diatur oleh
pemerintah Jerman untuk melestarikan alam tanpa mengesampingkan potensi lokal yang
sudah lama terbangun di sekitar taman nasional. Di sepanjang wilayah perbatasan
hutan dan pemukiman, para penduduk tetap bisa mengusahakan ladang dan tanah
pertanian. Sistem yang terintegrasi ini kemudian dibangun untuk dijadikan
sumber perekonomian yang lain, pariwisata. Area taman nasional sekaligus juga
menjadi guru, layar terkembang dari sang alam. Salah satu kearifan alam yang
kukagumi dari orang Jerman adalah bagaimana mereka menjaga sumber-sumber air. Sungai
terpencil di tengah hutan akan sama jernihnya dengan danau-danau di pinggiran
kota atau aliran selokan di sepanjang jalan pedesaan.
Sejak petualangan pertama itu, kami menjadi termotivasi untuk mengunjungi taman-taman nasional lainnya di sekitar negara bagian Nordrhein-Westfalen. Sepanjang musim gugur sampai menjelang musim dingin tahun lalu setidaknya kami mengunjungi 6 kawasan hutan dan pedesaan sampai ke daerah perbatasan Belgia dan Belanda. Dalam setiap perjalanan, aku menemukan kerinduan pada petualangan-petualangan masa kecilku, berguru pada alam. Aku pun menemukan sahabat-sahabat baru, yang kemudian menjadi seperti saudaraku sendiri di perantauan ini. Kegemaran yang sama menjelajah alam, memotret, dan bepergian bersama membuat persahabatan kami semakin erat. Maka pada suatu hari, terbentuklah klub para petualang nekat yang lalu kami namakan WandernRuhr. Wandern diambil dari bahasa Jerman yang berarti berjalan kaki atau hiking dalam bahasa Inggris. Lalu, Ruhr adalah nama dari sebuah sungai yang mengalir melintasi kota-kota di mana kami tinggal, mulai dari Dortmund, Bochum, Essen, Duisburg, Mülheim, dan sekitarnya. Sungai Ruhr merupakan anak sungai Rhein nan legendaris itu, sungai yang menjadi salah satu urat nadi perekonomian wilayah Jerman bagian barat hingga Belanda.
Dalam setiap petualangan bersama WandernRuhr, aku belajar
tentang arti kedisiplinan dan kekompakan. Untuk mencapai kawasan hutan yang
ingin kami kunjungi, biasanya kami sudah harus stand by di stasiun yang menjadi titik tolak perjalanan sejak pagi
buta. Keterlambatan 5 menit saja bisa menyebabkan perubahan jadwal tiba di
tempat tujuan hingga berjam-jam. Pada
setiap kesempatan, kami menjadi mengerti artinya saling berbagi, menghormati dan bertoleransi. Selain menerobos kawasan hutan, kami biasanya melintasi
wilayah pedesaan yang cantik dengan tanah-tanah pertanian yang subur. Pada
musim panas, sapi-sapi gemuk, domba dan kuda-kuda dibiarkan berkeliaran
di sekitar ladang dan padang rumput. Menikmati siraman matahari yang masih
cukup hangat menjelang musim gugur.
Dalam beberapa kesempatan, aku bertemu pula dengan penduduk lokal. Pada suatu sore ketika menunggu bis pulang dari kawasan hutan
Winterberg di Elkeringhausen, aku sempat bertegur sapa dengan seorang nenek
yang tengah menyapu daun-daun yang berguguran di halaman rumahnya. Sang nenek
sejak tadi tersenyum ramah sambil memperhatikan kami dari kejauhan. Beliau
tiba-tiba menghampiri dan bertanya padaku: "Kalian mengenakan Kopftuch
(kerudung), berarti kalian Muslim ya?" Setengah terkejut aku mendengar
pertanyaan sang nenek. Aku terharu, di desa sesepi ini, yang bahkan kendaraan pun
jarang sekali lewat di depan rumahnya, nenek baik hati ini mengenal kehidupan Muslim dan tanpa menaruh curiga menyapaku dengan ramah bahkan mengajak
berbincang-bincang. Sang nenek melanjutkan, "Lalu dengan tetap berbusana
seperti ini (sambil menunjuk kerudung dan rok yang kukenakan), kalian tadi
menjelajah hutan dan turun naik perbukitan? Hebat sekali!" "Iya, Nek" jawabku
mantap. Aku mengucapkan terima kasih pada sang nenek sebelum pamit meninggalkan
desa yang perlahan ditelan kabut pada sore musim gugur itu, sebuah desa nan cantik
yang tak akan aku lupakan.
Riak-riak aliran sungai yang memantulkan bias-bias
matahari menjelang senja, helai-helai daun yang merona jingga, semak dan
rerumputan yang menyembunyikan jamur-jamur cantik berwarna-warni, hewan-hewan
ternak yang bebas berkeliaran di tepi ladang, kucing-kucing yang malu-malu
mengintip dari teras rumah pemiliknya, serta perahu yang teronggok bisu di permukaan
telaga. Serpih-serpih kenangan dari setiap
perjalananku bersama WandernRuhr akan senantiasa memenuhi lorong-lorong hatiku, meskipun nanti ketika kami tak bersama-sama lagi. Berikut ini catatan kenang-kenangan yang pernah
kutulis dan foto-foto yang kuabadikan dari sebagian perjalanan kami. Dokumentasi petualangan WandernRuhr biasanya kami kumpulkan pada halaman Facebook di bawah ini:
"Sehelai pagi nan sejuk mengabarkan rindu yang mengawang rendah di pelupuk mata. Rindu yang tak tahu aku definisinya, yang tiba-tiba saja menelusup celah-celah kenangan ribuan hari yang telah lalu, dahulu. Tak segores awan menghias langit, mentari betah berlama-lama hingga senja tiba, merona secerah biru samudera. Riak-riak telaga tersiram cahaya, kemilau tak ada habisnya. Langkah-langkah kakiku seperti menelusur masa lalu, saat mimpi kurajut dari pilinan benang semangat yang kukumpulkan satu-persatu. Aku berhenti, angin diam, syahdu alam mengalun dalam pejam. "Masih ingatkah engkau perjalanan kita waktu itu?" Begitu sepenggal rindu yang mungkin kau lantunkan nanti, dalam ribuan hari yang masih kutunggu, mungkin juga kau". [Taman Nasional Eifel, Heimbach, September 2013].
"Harum rumput basah dibasuh embun. Ramah
mentari malu-malu mengintip dari celah-celah gemunung, menyeruak halimun yang
diam-diam menunggu. Kerlip lampu dari kejauhan samar-samar menari, ditingkahi
semburat bayangan pagi. Ranting masih diam, angin pun masih malas merayu". [Elkeringhausen, Winterberg, Oktober 2013]
Bochum, 22 Juli 2014
No comments:
Post a Comment