Seperti halnya kakek, ayah dan abang, membaca adalah salah satu kegemaranku, terutama membaca buku-buku sastra dan buku-buku bertema kebudayaan. Buku adalah dunia lain tempat pikiranku menyepi, berkelana ke tempat-tempat asing dan mengenal orang-orang yang asing pula, yang sesungguhnya berada tak jauh-jauh, dalam tempurung kepalaku sendiri. Dunia-dunia asing yang kuciptakan sendiri itu meluap-luap seperti asap yang mengepul dari sebuah bejana. Kemudian melayang perlahan-lahan, wangi menyeruak seisi ruangan, lalu kuhirup dalam-dalam. Aromanya itu memabukkan, seperti wangi kertas usang di sudut perpustakaan. Hadiah-hadiah terbaik dalam hidupku, juga kiriman-kiriman pos yang paling kutunggu biasanya adalah buku. Bila hatiku dirundung rindu yang kucari juga buku. Langit boleh kelabu, September boleh bersalju, selama ada buku mimpi-mimpiku akan senantiasa mengharu biru.
Musim semi tahun ini, sebuah buku menghampiriku, buku yang melanglang jauh dari tanah kelahiranku. Dunia Simon, sebuah kumpulan cerita pendek. Ibarat kekasih yang dipertemukan kembali, aku seperti telah lama jatuh cinta pada Dunia Simon. Cinta lama yang masih sama indahnya. Sejak helai halaman pertama, aku menemukan diriku terperangkap dalam kejadian-kejadian yang dialami oleh tokoh "aku" dalam Dunia Simon. Menebak-nebak apa yang melintas dalam tatapan kosongnya kepada rinai hujan pukul tiga yang memburamkan kaca jendela. Aku melamun ketika "aku" termenung, aku gelisah ketika "aku" menunggu. Kadang-kadang "aku" tiba-tiba pula berubah menjadi aku, merindu.
Dunia Simon kuajak bercengkrama sambil berdiri di dalam gerbong kereta, sambil melangkah menyusuri anak tangga, atau sambil menunggu hujan reda. Lain waktu akan kuajak dia berkelana, mewakili mimpi penulisnya. Aku terkadang lupa, bahwa "aku" tak sepenuhnya ingin menceritakan semua kisahnya padaku. Tatapnya sering berbalas tajam ke arahku ketika aku mulai menggerutu, tak sabar ingin menyaru menjadi dirinya. "Aku" terkadang lugu, terkadang naif, lain waktu seketika berubah menjadi sosok pemberani. "Aku" adalah jiwa yang jujur yang tak hendak menutup-nutupi jati dirinya di hadapanku. "Aku" akan menangis bila hendak menangis, akan mengumpat bila hendak mengumpat. "Aku" seperti diombang-ambingkan waktu yang dilesap-lesapkan oleh jendela kereta yang tengah menderu.
Ketika "aku" mengalami kejadian-kejadian konyol, aku terkekeh, seperti menertawakan diriku sendiri. Ketika "aku" terjebak dalam momen-momen emosional, aku terdiam, bungkam tak hendak melawan. Ketika "aku" dikalahkan oleh masa lalu, aku cepat-cepat membalik helai-helai halaman terdahulu. Berharap masih ada hal-hal yang dapat kuperbaiki. Bagaimana aku tak jatuh cinta pada Dunia Simon. Pandai sekali dia mengajak pembacanya menyaru menjadi "aku", atau setidaknya hadir dalam lipatan-lipatan waktu yang telah membeku, dalam sebuah buku.
Aku percaya, karya-karya indah seperti ini hadir dari tangan-tangan dingin milik orang-orang yang jujur dalam berkarya. Karya yang tak hendak berteriak-teriak ingin dipuji, namun pandai mengambil hati para pembacanya. Karya yang tak perlu dimenangkan oleh terlalu banyak jiwa, namun cukup memenuhi hati orang-orang yang mencintainya. Dalam sastra, hampir segala peristiwa memungkinkan untuk dilukiskan sekehendak hati penulisnya, namun sangat mungkin pula untuk ditafsirkan sekehendak hati pembacanya. Aku mencintai sastra-sastra yang bersahaja, yang ramah mengajak pembacanya merasuk ke dalam setiap peristiwa. Mengutip pengantar yang ditulis Koskow dalam Dunia Simon: "Dalam seni, soal rasa merasa diharapkan memberikan gambaran bahwa hidup tak selalu dapat dimengerti tuntas. Menulis tak mampu menggantikan sentuhan. Namun, sastra, mungkin, diciptakan agar sentuhan yang dituliskan jadi cara agar rasa merasa memang dibutuhkan, se-ordinary apa yang dituliskannya tersebut."
Dunia Simon, lahir sebagai buah karya dari Wihambuko Tiaswening Maharsi. Perempuan yang baru saja kukenal di dunia maya melalui Tan Kinira, sebuah penerbit di Yogyakarta. Sebelumnya buku-buku terbitan Tan Kinira telah menyusulku lebih dahulu ke Eropa, buah karya Lelaki Budiman (Percakapan Diam-Diam), Koskow (Teman Merawat Percakapan) dan Mohammad Hadid (Meledek Pesona Metropolitan). Ilustrasi dalam Dunia Simon pun tak kalah apik. Gores-gores pensil Avira Paramastuti telah serta-merta menjebak aku dalam ketidaksadaran yang lebih dalam, hanyut perlahan bersama limpahan hujan. Tiba-tiba "aku" datang dengan seulas senyum penuh tanda tanya. "Mungkin cinta diciptakan kemudian, setelah semuanya, setelah manusia-manusia di dunia mulai merasa kesepian", bisiknya padaku sambil menghela nafasnya dalam-dalam. Aku terdiam.
Bochum, 23 Juli 2014
No comments:
Post a Comment