Transportasi umum di Bochum, kota kecil kesayangan kami ini bisa dibilang
sangat baik, aman, dan nyaman. Jalur-jalur utama dalam kota hingga ke wilayah
pinggiran kota dilalui oleh U-Bahn, tram dan bus. U-Bahn adalah kepanjangan
dari Untergrund-Bahn, jika diartikan secara bebas menjadi "kereta bawah
tanah". Pada kenyataannya U-Bahn di Bochum berwujud kereta
"mini" 2 gerbong yang berhenti di halte-halte bawah tanah maupun
halte yang dibangun di permukaan, untuk melayani transportasi dalam kota.
Salah satu jalur utama yang membelah Bochum dari utara ke selatan adalah
jalur U-Bahn U-35 yang menghubungkan Schloß Strünkede, sebuah istana peninggalan
bangsawan Roman dari abad ke-12, dengan Hustadt di bagian selatan yang terletak
tak jauh dari tepian Sungai Ruhr dan Danau Kemnadersee di selatan kampus Ruhr
Universität Bochum. U-35 juga berhenti di stasiun utama Bochum Hauptbahnhof dan
2 kampus terbesar di Bochum, Ruhr Universität Bochum dan Fachhochschule Bochum
(Bochum University of Applied Science). Maka U-35 lah yang menjadi moda
transportasi utama yang kutumpangi sehari-hari.
Aku masih ingat ketika pertama kali menjadi penumpang U-35. Pagi itu, di
akhir musim gugur 2011, kabut tipis menyelimuti Bochum, udara dingin mendesir
menerbangkan dedaunan dari ranting-ranting pohon. Halte Markstraße yang bisa
kucapai dengan berjalan kaki 5 menit dari asrama telah dipenuhi oleh antrian penumpang yang rata-rata mahasiswa.
Karena ini kali pertama, maka aku mencoba bertanya ke salah satu penumpang untuk
memastikan apakah aku tidak menuju arah yang salah.
Sejak pagi itu, U-35 menjadi sahabat baikku. Dia
selalu setia mengantarku ke sana ke mari, tak peduli hujan, badai, salju, siang
maupun malam. Dia hampir selalu tiba tepat waktu. Selama aku di sini, hanya tiga kali
seingatku U-35 tak beroperasi, yaitu ketika protes besar-besaran digelar oleh serikat
buruh di Ruhr area dan sekitarnya. Praktis,
transportasi umum di Bochum lumpuh total. Semua U-Bahn, tram, dan bus dalam
kota, termasuk kereta regional antar kota dihentikan operasinya. Maka mau tak
mau aku harus berjalan kaki ke kampus, melewati deretan hutan kecil dan
pemukiman. Kalau cuaca sedang bagus, perjalanannya akan terasa menyenangkan,
tetapi ketika musim dingin mulai mengintai, perjalanan sekitar 25 menit itu
akan terasa cukup menantang. Berjalan di bawah udara beku dalam waktu sesingkat
itu pernah membuat hidungku sampai berdarah.
Interior U-35 dirancang sedemikian rupa sehingga bisa menampung para
penumpang dengan optimal. Di beberapa bagian disediakan space khusus untuk mereka yang membawa sepeda atau kereta bayi,
termasuk beberapa tempat duduk yang disediakan untuk penumpang difabel, manula,
ibu hamil dan orang sakit. Pada jam-jam sibuk, U-35 akan dipenuhi penumpang,
maka hampir setiap pagi jarang sekali aku mendapat tempat duduk. Namun, mau
sepadat apapun antriannya, tak pernah aku melihat penumpang yang berebut dan
saling mendorong tak terkendali. Semuanya tetap berjalan tertib. Tempelan iklan
di dalam gerbongnya ditata teratur, badan gerbongnya berwarna putih keabuan berlist
merah, corak kain jok tempat duduknya berwarna merah cerah, lantainya selalu
bersih dan dering sirine pengaman pintunya tak kalah merdu berpadu dengan rekaman
suara pemaklumat yang mengumumkan nama setiap halte pemberhentian. Begitulah
U-35 sahabat kami melalui hari-harinya, dia telah bersolek sejak pagi buta
untuk mengantarkan orang-orang yang mencintainya.
U-35 mewarnai sebagian besar perjalananku. Aku bertemu orang-orang asing
yang tak kukenal dari berbagai bangsa, juga orang-orang yang kemudian menjadi
sahabat dan saudara. Aku mendengar bahasa-bahasa asing yang dituturkan oleh
penutur aslinya. Aku melihat bagaimana
hormatnya para penumpang kepada manula dan orang difabel. Namun di sisi lain,
aku juga mengagumi kemandirian mereka. Di sini tak jarang aku melihat para
manula dan orang difabel yang bepergian sendiri, karena fasilitas umum yang
disediakan negara memang sangat mendukung. Tetapi tetap saja, semuanya tak
semudah yang kita bayangkan dan tetap butuh keberanian. Lain waktu aku juga sering
bertemu dengan pegawai cleaning service
yang bertugas membersihkan halte, seorang bapak berwajah Asia Selatan, seorang ibu
berambut keriting berwajah Latin, dan satu orang lagi bapak berperawakan besar dan
berambut pirang. Jika tiba musim dingin dan bersalju, pekerjaan mereka menjadi
bertambah, mengeruk salju dan menaburkan remah-remah pasir dan garam agar
orang-orang tak terpeleset.
Setiap hari, selalu saja aku bertemu orang-orang dengan raut wajah yang
berbeda-beda. Seorang ibu setengah baya yang menatap kosong keluar jendela,
anak kecil yang sesenggukan karena baru berhenti menangis, sepasang kekasih
yang saling menatap malu-malu, seorang mahasiswa yang sedang serius membolak-balik
halaman buku, seorang bapak yang membaca headline
berita pagi dari surat kabar terbitan lokal, seorang ayah yang menggandeng
tangan anak perempuannya, dan aku yang tak bosan-bosan menyaksikan denyut
kehidupan yang masih terus mengalir di dalam U-35, drama kehidupan yang
menyimpan sejuta cerita.
Baru kali ini, aku benar-benar kehilangan U-35. Sejak tanggal
19 yang lalu hingga besok, seminggu penuh U-35 dari Wasserstraße menuju Hustadt
tak beroperasi. Kabarnya ada perbaikan beberapa jalur rel utama dan
penyelesaian sebuah halte baru. U-35 dalam beberapa hari ini digantikan oleh
bus khusus yang diberi nama U-35E. Maka benarlah adanya, sesuatu itu terkadang
akan terasa sangat bernilai ketika dia tiada. Ketika masih ada dan tersedia
sebagaimana biasa, maka kita sering melupakan jasanya. U-35 sahabat kami,
terima kasih yang tak terhingga kuucapkan untuk setiap orang yang telah bekerja
keras untuk menjadikanmu ada.
Bochum, 24 Juli 2014