Sejak kecil aku mengagumimu wahai ayahku. Engkau pendengar paling setia untuk setiap keluh kesah dan rasa ingin tahuku. Ini apa, itu apa? ini kenapa, itu kenapa? kalau begini bagaimana? Dulu PR matematika-ku, engkaulah orang pertama yang akan menilainya sebelum guruku. Sejak kecil, engkau mengajakku berdiskusi tentang banyak hal. Entah itu fisika, matematika, sejarah, geografi, bahasa, biologi, psikologi, atau apapun yang aku ingin ketahui. Luas sekali, seluas mata kecilku memandang cakrawala di pesisir pantai.
Diskusi malam tadi panjang sekali. Memanggil semua kenangan masa lalu kami. Dulu aku sebagai penanya, ayahku penjawab dan pendengar setia. Sejak aku mulai kuliah, diskusi berubah jadi 2 arah, lebih hidup. Aku berbagi ilmu yang kudapat di kampus atau sumber lainnya. "Tunggu sebentar, ayah kurang mengerti, sedikit rumit, hmm..". Ayah selalu berusaha untuk memahami topik yang kuajukan. Paling kalau sudah tak "termakan" lagi, Ayah akan berkata : "alhamdulillah, subhanallah engkau bisa memahaminya Nak, semoga bermanfaat ilmumu". Sampai sekarang, pengetahuan sejarah ayah yang belum pernah terlampaui olehku. Kaya sekali, seperti komik saja epik-epik sejarah yang pernah Ayah ceritakan.
Semoga Rahmat ALLAH senantiasa tercurah untukmu wahai ayahku. Lain waktu jika kita bertemu, aku berjanji akan selalu menjadi anak yang lebih baik lagi. Sampai tiba waktunya aku tak menjadi milikmu lagi atau salah satu dari kita dipanggil olehNya. Aku tak ingin melupakan setiap detik waktu yang pernah kita lalui.
Bandung, 1 Maret 2010.
Di malam-malam menjelang sidang, dalam cuaca yang makin "unpredictable" kata ayah, hmm..
Di malam-malam menjelang sidang, dalam cuaca yang makin "unpredictable" kata ayah, hmm..
Disini dulu aku dan ayah biasa menghabiskan sore. Menunggu adzan memanggil, mengantar mentari ke peraduannya sampai bibir cakrawala..
No comments:
Post a Comment