Mamo, panggilan Ayah yang ”terpeleset” dari kata Ramo, dari mulut kecilku dan Abangku. Sejak aku bisa mengingat, Beliau adalah laki-laki pertama yang kukenal dalam hidupku. Hadiah pertama yang kuterima dari Ayahku adalah namaku ini, yang akan kubawa sampai mati.
Beliau pasti laki-laki yang merasa paling bahagia ketika kami, anak-anaknya, lahir ke dunia ini.
Dulu waktu aku masih kecil, aku paling senang kalau Mamo menggendongku. Rasanya, cintanya hanya untukku saja. Tangan kecilku akan menjangkau dan menunjuk ke sana kemari atau meraba-raba wajahnya yang kasar karena belum bercukur. Mamo mengajariku untuk mencintainya dengan sederhana.
Sepeda motor pertama yang dimilikinya adalah Yamaha PX-80 warna merah, bukan baru. Selanjutnya sepeda motor Mamo berganti-ganti dan selalu bukan baru. Satu-satunya sepeda motor baru yang dimiliki Mamo adalah sepeda motor yang dipakainya sampai sekarang. Itu pun dibeli ketika Mamo baru saja pensiun, ketika aku lulus SMA. Mengapa? Karena memang itulah adanya yang beliau bisa. Mamo pegawai negeri yang jujur, hanya makan gaji, itu saja. Gaji yang diaturnya setiap bulan dengan sangat hati-hati untuk menafkahi keluarganya, untuk menyekolahkan anak-anaknya. Dari laki-laki pendiam ini aku belajar tentang kejujuran dan kesederhanaan.
Dulu waktu aku masih SD, SMP dan SMA aku beberapa kali mogok tak mau sekolah, ingin minta pindah. Mamo kerepotan ke sana kemari mengurus kepindahan sekolahku. Tetapi tak sekali pun kudengar keluhnya. Mamo mengajariku tentang jiwa besar, Beliau ingin aku sekolah di tempat terbaik dan paling membuatku betah. Beliau tak pernah menuntut apa pun dari anak-anaknya.
Ketika pertama kali aku bisa naik sepeda, aku merengek minta dibelikan sepeda baru. Mamo hanya memberiku sepeda bekas, phoenix warna merah, yang terus kuprotes karena cat-nya sudah jelek. Di kemudian hari aku mengerti mengapa Mamo baru membelikanku sepeda baru beberapa bulan setelahnya. Karena di bulan-bulan pertama aku masih sering jatuh, Mamo tak ingin aku lebih kecewa kalau sepeda baruku rusak karena belum bisa kukendarai dengan baik. Dari laki-laki disiplin ini aku belajar tentang kesabaran.
Dulu aku sering diajak Mamo ke rumah paman sepulang dari klinik gigi. Klinik yang paling kubenci ketika pertama kali gigiku dicabut. Namun setelahnya aku yang meminta sendiri untuk diantar ke sana. Mengapa? Karena Mamo tak pernah bohong, “tidak sakit! Percayalah!” Pulangnya aku akan bertemu paman, mendengarkan obrolan mereka berdua tentang kakek. Mamo mengajarkanku tentang indahnya silaturahim.
Waktu aku masih kecil, Mamo jarang marah kalau aku nakal, tapi Beliau paling marah kalau aku dan Abang bertengkar. Mamo mengajariku bagaimana mencintai saudaraku satu-satunya, Abang yang akan kubanggakan sampai mati.
Mamo tak pernah menangis di depan kami, sesedih apa pun, sesakit apa pun, sesusah apa pun, tak pernah sekali pun kulihat Mamo menangis. Mamo mengajarkanku tentang ketegaran agar aku tak cengeng menjalani hidup ini.
Cinta Ayahku tak pernah habis-habis untuk kami.
Aku tak bisa memilih siapa yang menjadi Ayahku. Tapi sekali pun aku tak pernah menyesal telah menjadi anaknya. Mamo adalah Ayah yang kucintai seumur hidupku. Sampai kapan pun aku tak akan pernah bisa membalas jasanya. Dalam hatiku tertulis sejuta kenangan tentang Ayahku, salam rinduku untuknya, harum kasih sayangnya kan ku bawa sampai mati.
Bandung, 18 Oktober 2011
Photo illustration by Ponda Sujadi
Tulisan lain tentang Ibu dan Abang, 3 orang inilah, manusia-manusia terbaik dalam hidupku:
http://maktjik.blogspot.de/2012/11/mamak-ibu-juara-satu-seluruh-dunia.html
http://maktjik.blogspot.de/2012/12/abangku-abang-juara-satu-seluruh-dunia.html
Tulisan lain tentang Ibu dan Abang, 3 orang inilah, manusia-manusia terbaik dalam hidupku:
http://maktjik.blogspot.de/2012/11/mamak-ibu-juara-satu-seluruh-dunia.html
http://maktjik.blogspot.de/2012/12/abangku-abang-juara-satu-seluruh-dunia.html
No comments:
Post a Comment