Hujan baru berhenti menyisakan jalan setapak basah yang dipenuhi dedaunan merah kekuningan. Langkahku sedikit terseok demi menghindari genangan air sambil memanggul ransel yang sedikit berat. Hari masih sangat muda, mendung menggelayut rendah disertai hembusan angin dingin, musim gugur sudah menghampiri kami.
Stasiun sudah ramai oleh lalu lalang manusia. Kawan, hidup ini tak ubahnya penumpang di stasiun kereta, masing-masing menunggu gilirannya tiba.
Kereta yang membawaku melaju meninggalkan kota kecilku, Bochum. Kota kecil yang telah membuatku jatuh cinta akan kesederhanaannya. Dulu, dulu sekali, Bochum dan kota-kota lainnya di sepanjang Sungai Ruhr adalah kawasan pertambangan dan industri berat. Berpuluh-puluh tahun kawasan ini berkarat karena beban kerusakan lingkungan. Sungai-sungai tercemar, polusi udara menjadi-jadi. Tapi, semua itu tinggal kenangan menyisakan romantisme nostalgia masa lalu untuk dijadikan pelajaran berharga bagi generasi selanjutnya.
Saat ini, area-area bekas tambang dan industri tersebut dijadikan kawasan-kawasan konservasi dan museum-museum yang menarik perhatian wisatawan dari seluruh dunia. Musim panas yang lalu, sempat kukunjungi beberapa industriekultur di Ruhr area. Butuh waktu berpuluh-puluh tahun dan biaya yang tidak sedikit untuk mengembalikan keseimbangan alam yang terlanjur rusak. Itu pun tak akan pernah kembali seperti semula.
Kereta yang membawaku terus melaju memasuki daerah Bavaria. Rumah-rumah petani di tepi ladang nan hijau berkerumun di sela-sela bukit tepian sungai. Daun-daun mulai menguning kemerahan, melukis keindahan khas musim gugur. Aku dilahirkan jauh di negeri tropis, diasuh lembut hawa hangat sepanjang tahun. Pulau kelahiranku ibarat mimpi-mimpi keindahan dunia yang mendayu-dayu. Pantai perawan berpasir putih, sejauh mata memandang hanya laut biru, gemuruh ombak menghempas saling beradu, hasil laut melimpah ruah. Perahu-perahu nelayan terombang-ambing dipermainkan ombak. Senja mengantarkan mereka dalam harmoni, dipeluk malam nan syahdu. Di sana kutinggalkan jejak-jejak masa kecilku, kurajut cita-citaku hingga hari ini.
Pulauku telah menderita sakit yang berkepanjangan. Namun, seperti tak habis-habis beban yang selama ini telah membuatnya berkarat dan terluka. Ancaman datang silih berganti di darat dan di laut. Perkebunan kelapa sawit berhektar-hektar, lubang-lubang menganga bekas tambang telah merenggut berhektar-hektar pula kawasan hutan yang seharusnya dilindungi. Kabar buruk lain kini berhembus sampai ke telingaku. Dari jendela kereta, tatapanku menerawang jauh, hatiku gundah.
Kubayangkan kapal-kapal hisap nan serakah akan mengeruk laut kami, menyisakan keruh air mata. Tak akan ada lagi laut biru tempat nelayan-nelayan kami nan berani menggantungkan periuk belanga keluarganya. Awan hitam bergumpal-gumpal menggiring mimpi buruk dari tanah seberang, Pulau Bangka yang sudah terlanjur luluh lantak oleh tangan-tangan celaka.
Wahai Kawan, semua keindahan ini hanya titipan Tuhan. Tak adalah hak kita untuk menjadi rakus tak terkendali. Tak belajarkah kita dari sejarah yang sudah-sudah, tak ada kesudahan yang baik bagi tangan-tangan serakah. Wahai tangan-tangan celaka, jangan kau renggut tanah dan laut kami. Di sanalah hidup, kebanggaan, dan harga diri kami.
Tangan-tangan kecilku meraba-raba kerang di sepanjang pantai. Mentari mulai beranjak ke peraduan, sinarnya menyilaukan. Kulihat silhouette perahu-perahu nelayan di kejauhan. Bayang-bayang masa kecilku saling beradu di balik jendela kereta. Pantai-pantai di pulau kecilku tak banyak berubah dan aku ingin tetap mengingatnya seperti itu, indah dalam kesederhanaan yang akan kami wariskan hingga anak cucu nanti.
Lima jam berlalu, keretaku tiba di stasiun terakhir, Erlangen. Lalu lalang manusia tak kuhiraukan lagi. Mataku basah karena rindu sekaligus gundah. Aku bukanlah siapa-siapa, tapi rasa cintaku kepada tanah kelahiranku tak perlu kau pertanyakan lagi, Kawan. Kutitip doa dan rindu untuk mereka yang berjuang dengan harapan yang tak pernah padam untuk menjaga pulau kami. Selamat berjuang!
membentang, kurentangkan kedua tanganku
angin penuhilah paru-paruku
ingin kuhabiskan hariku di atas perahu
terombang ambing tak peduli melawan waktu
gemuruh ombak, bawa aku pulang ke laut biru
Bochum-Erlangen, musim gugur 2012
No comments:
Post a Comment